Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Zulfadli

TERVERIFIKASI

Catatan Ringan

Kisah di Tanah Minang dan Pondok Gontor

Diperbarui: 3 Mei 2020   15:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(dok. pri)

Di satu ruang kelas Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, seorang guru atau kalau di pesantren disebut Ustads, masuk kelas dengan membawa tas, sebilah pedang dan sebatang kayu. Sesuatu yang terasa ganjil.

Setelah mengucap salam, sang Ustads Salman, yang diperankan Donny Alamsyah, seketika mengambil posisi persis di tengah santr-santri baru yang juga masih terperangah sambil menatap penasaran apa gerangan yang hendak dilakukan Ustads dengan golok tersebut.

Dengan serius dan fokus, Ustads Salman mencoba membelah batang kayu dengan parang yang nampak sudah tua dan kurang tajam lagi. Sekuat tenaga usahanya, sampai kayu itu berhasil dibelah menjadi dua bagian. Setelah berhasil, Ustads Salman kemudian berucap pesan penuh makna pada santri-santri, "Bukan tajamnya pedang yang menentukan, namun bagaimana kesungguhan seseorang dalam melakukan sesuatu hingga apa yang diharapkan bisa terwujud. Man Jadda Wa Jaddah".

Pesan Ustads Salman memberi pelajaran bahwa pertolongan datang setelah kita sudah berusaha, keajaiban datang menghampiri setelah kita bertindak. Kalau hanya berdoa dan berharap sesuatu tanpa melakukan apa-apa, tidak usah mengharapkan kesuksesan, apalagi keajaiban datang menghampiri.

Yes itu satu adegan dalam film Negeri 5 Menara diangkat dari novel berjudul sama, karya Ahmad Fuadi. Kisah nyata dan sosok Fuadi dalam film ada di sosok Alif Fikri, tokoh sentral film besutan sutradara Affandi Abdul Rahman. Sementara naskah skenario dipercayakan kepada writer top Salman Aristo.

***

Film ini diawali dengan latar belakang kehidupan damai di Bukit Tinggi dan Danau Maninjau, Provinsi Sumatra Barat, kampung asal Alif. Salut kepada tim sinematografi, yang dengan lihai menangkap dan menampilkan rangkian-rangkaian keindahan panorama alam desa di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, kemudian berlanjut di pedalaman pulau Jawa dengan tanahnya yang subur. Salah satu babak favorit, membuat saya teringat menyantap nasi kapau di Los Lambuang.

Cerita kemudian bergulir dengan melibatkan enam santri di Pondok Pesantren Madani Ponorogo, sebagai tokoh utama. Karakter-karakter tersebut mencerminkan kayanya budaya Indonesia yang tetap berprinsip Bhineka Tunggal Ika: Alif dari Padang; Said asal Surabaya; Atang asli Bandung; Baso dari Gowa Sulawesi Selatan; Raja dari Medan dan; Dulmajid asal Madura.

Jalinan persahabatan enam remaja beranjak dewasa ini sangat tulus. Menyiratkan nilai-nilai luhur menjalani kehidupan yang damai. Ada rasa persaudaraan dan solidaritas yang ditimbulkan perasaan dan perjuangan yang sama menempuh pendidikan. Mengedepankan sikap toleransi, merasa terbuka pada kemajemukan dan keaneka ragaman.

Tidak penting melihat latar belakang berdasarkan suku, ras, dan apa pun yang menjadi batas persaudaraan. Serta pesan untuk bertanggung jawab dan bersikap disiplin untuk meraih kesuksesan. Tanggung jawab dan disiplin akan membentuk karakter kuat setiap manusia.

Sebelum film ini tayang pada 2012, atau bahkan sebelum Fuadi menyetujui novelnya diangkat ke layar lebar, saya telah melalap novel tersebut, dan memberi apresiasi kepada Fuadi yang begitu menginspirasi, terutama kaum anak muda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline