Yuval Noah Harari, sejarawan muda paling fenomenal saat ini, menulis dalam buku larisnya, Sapiens (2011), bahwa rokok kerap kali berperan sebagai uang. Narapidana yang tidak merokok bersedia menerima rokok sebagai pembayaran, dan menghitung nilai semua barang dan jasa lain dalam rokok. Seseorang yang selamat dari Auschwitz menjabarkan mata uang rokok yang di gunakan di kamp tersebut.
"kami memiliki mata uang kami sendiri yang nilainya tidak dipertanyakan siapa pun: rokok. Harga setiap barang dinyatakan dalam rokok. Pada masa "normal", yakni ketika orang-orang calon masuk kamar gas berdatangan secara teratur, satu roti berharga 20 batang rokok; satu pak margarin 300 gram senilai 30 batang rokok; satu arloji dinilai 80-200 batang rokok: satu liter alkohol dapat ditukar 400 batang rokok!"
Sebelumnya lagi pada 1994, film klasik The Shawshank Redemption, menceritakan sekelompok narapidana kelas berat yang dipimpin Morgan Freeman (berperan sebagai Red), selalu bertaruh banyak hal, dengan bayaran rokok. Tiap pagi saat sarapan di pantri penjara yang luas, pemenang taruhan menagih rokok-rokok kemenangan, lalu menderetkan sembari mencium aroma harum rokok-rokok tersebut. Rokok telah menjadi ikon pesta di Shawshank.
Tidak hanya digunakan di awal-awal peradaban manusia. Tradisi kepercayaan terhadap rokok masih terjadi di penjara-penjara kita. Tiap kali membesuk teman-narapidana, rokok menjadi barang wajib untuk dibawa. Sipir penjara pun acap menerima 'suap' minimal sebungkus rokok dari para pengunjung. Jika rokok suap bukan merk rokok yang diisapnya, rokok bakal ditukar atau bahkan dijual dengan sedikit lebih murah daripada harga sebenarnya.
Begitulah jika kita berbicara soal rokok, menjadi isu global, fenomena menarik sepanjang waktu, termasuk di Indonesia. Rokok selalu dikaitkan dengan kesehatan, ekonomi, kebijakan politik, sampai hubungannya dengan sosio-kultural masyarakat
***
Indonesia menjadi negara dengan perokok aktif terbanyak di ASEAN. Lebih dari sepertiga populasi Indonesia (36.3%) adalah perokok. Perokok di Indonesia cenderung menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan jumlah perokok diatas 15 tahun sebanyak 33,8 persen.
Peningkatan jumlah perokok ini dibarengi dengan peningkatan proporsi penyakit tidak menular akibat konsumsi rokok. Beberapa diantaranya hipertensi, stroke, diabetes, jantung, dan kanker. WHO juga sudah menyebutkan bahwa berbagai penyakit tidak menular saat ini besar pemicunya karena rokok. Perilaku merokok bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari persepsi yang rendah terhadap kerugian merokok dan model perokok di sekitarnya, pengaruh keluarga atau teman yang merokok, hingga paparan terhadap iklan rokok dalam berbagai bentuk.
Peningkatan jumlah penderita akibat konsumsi rokok, berpengaruh dalam peningkatan beban kesehatan negara. Bahkan BPJS kesehatan mengalami defisit hingga 16,5 triliun pada 2018 akibat banyaknya jumlah peserta yang sakit. Pemerintah pun mulai melirik dana bagi hasil cukai tembakau sebesar 23 persen guna menambal defisit ini.
Efektifkah kebijakan kontrol tembakau model ini ?
Pengendalian rokok di Indonesia memang masih lemah dan belum dapat berdampak pada perilaku merokok. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), konvensi pengembangan kebijakan pengendalian tembakau yang telah ditandatangani oleh 173 negara.