Akhir pekan lalu, setelah menyusuri sekitar 450 kilometer dari kota Makassar, selama 11 jam, saya dan keluarga tiba di jantung kota Masamba, Luwu Utara. Perjalanan panjang yang melelahkan, tapi juga menyenangkan karena bersama keluarga dengan banyak cerita dan peristiwa sepanjang jalan yang melintasi sembilan kabupaten.
Hari masih gelap di Masamba, tapi saya tak ingin melewatkan pagi yang sejuk di tanah Luwu. Bagi saya, hal pertama untuk melihat dinamika kota adalah sembahyang subuh berjamaah di Masjid Agung Syuhada, Masamba. Kebetulan hanya berjarak 200 meter dari hotel kami menginap. Masjid ini memiliki arsitek yang bagus dengan ornamen kayu yang cukup dominan. Masjid terbesar di Masamba ini sebenarnya tidak terlampau luas untuk ukuran Masjid raya di sebuah Kabupaten/Kota. Saya kemudian membandingkan dengan rumah jabatan Bupati Luwu Utara yang jauh lebih luas daripada Masjid, tepat berada di sebelah barat.
Setelah matahari terbit, saya menyambangi Pasar Sentral di Kelurahan Baliase, sekitar 2,5 kilometer arah Timur. Satu fasilitas pasar yang menarik perhatian saya adalah Ruang Baca Mandiri (RBM) dan Mobil Perpustakaan. Sayangya RBM dan Mobil tersebut tutup pada hari Sabtu dan Minggu.
Setelah satu jam mengitar pasar, tiba saatnya singgah di kedai kopi. Ngopi di pasar selalu memiliki nuansa berbeda dan mengasikkan. Di kedai yang terletak di satu pojok pasar, saya tetap antusias dan semangat melihat aktivitas warga Masamba di pagi hari pada akhir pekan. Suasananya terasa hidup, menggeliat, tapi tidak sesak, seperti pasar Senggol Makassar, misalnya.
Menikmati satu pagi di Masamba menguatkan ikatan emosional saya, bukan hanya karena Luwu Raya merupakan kampung keluarga besar Vera, istri saya. Tapi saya masih bisa merasakan betapa menyakitkan dan mengerikan tanah subur ini pada waktu dua dekade silam.
Membangun Peradaban
Luwu Utara adalah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Selatan, satu dari empat kabupaten hasil pemekaran Luwu Raya pada 1999. Luwu Utara dibagi 12 Kecamatan, 5 Kelurahan, dan 171 Desa. Penduduknya berjumlah sekitar 300 ribu orang.
Luwu Utara pernah dilanda konflik dan perang horizontal, dalam periode yang relatif lama. Konflik Luwu sama sekali tidak bisa dilepaskan konteks sejarahnya. Pada masa kolonial konflik melibatkan antar-suku (terutama suku Kolaka dan Toraja) dari provokasi kolonial untuk menciptakan sentimen antar-suku berdasar pada perbedaan suku dan agama. Di awal kemerdekaan, konflik dan kekerasan terbesar terjadi antar rakyat dan negara ketika terjadi perlawanan yang dilakukan oleh Darul Islam (DI)/Tentara Islam Indonesia (TII) pimpinan Abdul Qahar Mudzakkar melawan pemerintah RI. Berlangsung lama sekitar pada 1950 sampai 1965.
Setelah itu, konflik dan kekerasan banyak terjadi pada era 1970-an hingga 1980-an antara pendatang (transmigran, mayoritas dari Jawa dan Nusa Tenggara) berhadapan dengan penduduk lokal atau penduduk asli. Namun masih dalam skala relatif kecil. Baru pada awal jatuhnya rezim Soeharto pada 1998, kekerasan komunal meluas di Luwu Raya dan melibatkan massa besar terjadi.
Hasil studi disertasi Dwia Aries Tina pada 2005, menjelaskan bahwa tidak kurang 50 kasus perkelahian massa skala besar yang terjadi pada akhir tahun 1998-2000. 35 jiwa tewas, ratusan orang terluka, dan ratusan rumah dan bangunan dibakar. Mereka berperang dengan merakit berbagai senjata mematikan seperti badik, busur panah, dan papporo (semacam bom yang berisi campuran besi yang dilontarkan secara membabibuta). Pemicunya biasanya dari perkelahian anak muda di pesta perkawinan, keributan di pasar, sengketa tanah. Barangkali hal yang kecil saja tapi sebenarnya sudah mengakar.
Masih berdasarkan studi Dwia, penyebab mendasar konflik di Luwu adalah kondisi struktutral dalam proses modernisasi. Konflik pada masa transisi (mulai 1998) adalah sebuah konsekuensi dan perubahan iklim politik dari otoriter menuju demokrasi. Sebelum krisis, di awal dekade 1990-an, Indonesia dianggap telah menjadi negara lemah, karena otoritarianisme rezim Soeharto semakin kuat. Kemudian diperparah krisis moneter dunia yang dimulai pada 1996, karena efek pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas.