Dari banyak persolan bangsa, persoalan pendidikan mungkin paling mendasar dan mendesak untuk segera dibenahi. Pendidikan, dari dulu, selalu mengalami persoalan multi aspek. Baik bersifat fundamental, struktural, dan kultural.
Yang termasuk persoalan fundamental mungkin tentang akses untuk mendapatkan layanan pendidikan. Sejatinya pendidikan adalah hak. Bukan suatu komoditas atau privilege, hanya bagi mereka yang mampu membelinya. Di Indonesia menuntut prinsip itu bisa terjadi dianggap mimpi siang bolong. Biaya pendidikan layak adalah urusan tentang biaya mahal, bahkan bagi keluarga kelas menengah.
Masalah fundamental lain adalah peran dan metode guru dalam proses pembelajaran. Sebagian guru diyakini masih tradisional yang memposisikan dirinya sebagai pembimbing, pengajar, dan pelatih yang mempersepsikan diri tak pernah salah, selalu tahu segala hal, dan merasa superior terhadap muridnya.
Materi pengajaran juga nyaris tidak ada yang baru, dan materi tersebut biasanya dengan mudah diakses dari sumber lain, mendownload di internet, misalnya. Guru profesional adalah yang bertindak sebagai fasilitator yang mengkondisikan suasana dan proses pembelajaran berpusat pada siswa.
Perlu dan harus berubah. Siswa mesti dijadikan rekan di dalam kelas, yang menilai dengan kritis apa saja sumber-sumber belajar, yang menyarankan berbagai sumber belajar yang lebih absah, variatif dan, bermakna. Pilihan mendominasi sudah kuno, guru ataupun dosen mesti lebih banyak mendengar dan mendorong lahirnya argumentasi dan pertanyaan.
Sedangkan persoalan struktural pendidikan masih terkait atau turunan dari persoalan guru. Disamping kita kekurangan tenaga pengajar yang profesional, kuantitasnya pun masih jauh dari ideal, dan tidak merata. Guru sebisa mungkin tidak ditempatkan di sekolah-sekolah yang jauh dari akses perkotaan. Begitu guru telah terangkat, permasalan belum selesai, karena selama ini nyaris tak pernah ada kontrol, tak ada pengembangan seperti diklat bagi guru.
Pemerintah harus terus mencari formula yang paling tepat untuk meregulasi guru agar kesenjangan tingkat pendidikan bisa segera diminimalkan. Masalah kultural mengenai mental segenap orang-orang yang terlibat dalam dunia pendidikan. Mulai budaya mencontek, kecurangan UN, perjokian, dan plagiat, hingga ijazah palsu. Nilai kejujuran diabaikan demi mengejar status sosial berpendidikan. Parahnya dilakukan dimulai dari pejabat lembaga pendidikan, pendidik, dan siswa.
Pendidikan bukan hanya bertujuan menghasilkan orang pintar, tapi memiliki moral yang baik. Seperti yang telah ditulis di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan berfungsi dan bertujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Prinsipnya, pendidikan adalah kinerja moral, bahwa hakikat belajar sesungguhnya adalah mengkondisikan siswa untuk berpikir, memahami fakta, konsep, prinsip, dan prosedur yang terkait dengan berbagai disiplin ilmu untuk memecahkan masalah. Itulah esensi belajar yang sesusungguhnya yang perlu dikembangkan.
Selamat hari Pendidikan Nasional 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H