Joachim Loew danUrs Siegenthaler (http://www.t-online.de/sport/fussball/wm/id_69705042/)
Banyak yang bilang Inggris maen bola pake hati, Italia pake otak, dan Jerman pake keduanya. Bahwasanya Jerman melaju ke babak semifinal Piala Dunia, sebenarnya hal yang biasa-biasa saja.
Kemenangan Jerman atas Perancis semalam dengan skor 1-0, menunjukkan tipikal Jerman yang sudah kita ketahui. Sebuah kemenangan penting yang tercipta dari kerapian sebuah sistem baku yang telah mendarah daging bagi setiap pelaku sepak bola Jerman.
Dimulai dari riset yang mendetail, kerja sama tim, kecerdasan pemain dipadu dengan kejeniusan pelatih. Singkatnya, Jerman punya rencana permainan sempurna dan pemain ideal untuk menerapkannya di lapangan nyaris sempurna.
Seperti yang pernah dilaporkan Der Spiegel, majalah paling berpengaruh di Jerman, sebelum Piala Dunia, bahwa Jogi-sapaan akrab Joachim Loew, dalam menyusun taktik bertanding dibantu 38 asisten ahli yang mendukung setiap keputusannya. Disebutkan terdapat tiga pelatih kebugaran, empat dokter, empat fisiologis, dua orang Scout(spionase), lima yang mengurus akomodasi, lima petugas media, dan sebagainya. Komplit.
Rencana Jerman tidak hanya karena kejeniusan Jogi semata, tapi hasil kerja keras sebuah tim yang melibatkan ahli terbaik di bidangnya. Otak-otak brilian inilah yang bekerja sama untuk satu tujuan. Mungkin publik bertanya-tanya mengapa jumlah asisten ahli itu lebih banyak dari skuat Jerman sendiri yang berjumlah 23 pemain. Kita hanya awam.
Tanpa menyampingkan peran ahli yang lain, barangkali Jogi mesti mengapresiasi sosok Urs Siegenthaler, dialah Chief Scout der Panzer sejak tahun 2010. Departemen Scout sangat krusial, bertugas memata-matai, layaknya tugas intelijen sebelum peperangan. Bagaimana bisa menemukan kunci untuk memenangi laga, dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan. Mendeteksi hal-hal khusus, yang tidak dilihat oleh orang awam, seperti dokter melihat sebuah wabah, kira-kira.
Sebagai kepala, Siegenthaler, memiliki data dan informasi banyak pemain, tidak hanya pemain timnas Jerman. Informasi yang dikumpulkan tidak hanya soal kemampuan teknik lawan, yang sudah banyak diketahui publik. Siegenthaler dan kru, lebih banyak bertugas untuk spionase soal kondisi psikologi tim lawan. Ia menyelidiki bagaimana pemain atau tim berprilaku menghadapi tekanan pertandingan. Hemat Siegenthaler, emosi lebih menentukan pada fase knock-out.
Dari informasi dan analisis yang disusun Sigenthaler, Jogi akan memutuskan taktik terbaik untuk mengalahkan lawan. Dan yang paling utama dari kejeniusan Jogi adalah pemilihan pemain tentunya.
Menghadapi Perancis semalam, Jogi kembali membuat formasi beda, 4-2-3-1, yang berbeda dari pertandingan sebelumnya 4-3-3. Jogi lebih memilih mengembalikan posisi Phillip Lahm ke bek kanan, menggeser Jerome Boateng ke bek tengah berduet dengan Matt Hummels, dan bek kiri tetap pada Howedes. Jogi merasa perlu membangkucadangkan Per Mertesacker, dengan asumsi kalah cepat dengan striker andalan Perancis, Kareem Benzema.
Begitu pula kejutan di lini tengah. Dua gelandang bertahan disiapkan untuk menjaga keseimbangan sekaligus meredam serangan Perancis, ditugaskan pada Shami Khedira dan Bastian Schweinsteiger. Duet ini selalu bisa merebut bola dan dengan cepat mendistribusikan kepada ketiga pemain: Mesut Oezil, Thomas Muller, dan Toni Kroos. Kenapa Miroslav Klose jadi starter dan mengapaMario Goetze disimpan, tentu karena Jogi-lah yag lebih paham pemainnya dari pengamat bola mana pun.
Hasilnya kita sudah saksikan semalam. Jerman bermain pragmatis dengan strategi bertahan dan menyerang balik. Setelah membuka skor, mereka segera menguncinya. Der Panzer sukses meredam pergerakan lini tengah dan ketajaman Perancis, yang pada empat pertandingan sebelumnya sangat produktif. Dan pada saat mendapat momen, mereka menghabisi dengan satu tendangan bebas Kroos yang dikonversi gol sundulan Matt Hummels.
Sebenarnya Didier Deschamps, pelatih Perancis, sudah melakukan antisipasi terhadap strategi gerilya tim Jerman. Pemain Perancis pun sesungguhnya tidak bermain jelek, meski bukan penampilan terbaik. Mereka sudah mencoba memberikan segala kemampuan untuk mengejar ketinggalan, namun sampai selesai tak bisa menembus gawang Manuel Neuer yang bermain cemerlang.
Piala Dunia kembali membuktikan bahwa turnamen ini lebih menuntut hal mendetail yang diracik dengan niat. Siapa pun setuju, semalam Der Panzer lebih siap, lebih berpengalaman, dan lebih matang, daripada Les Blues.
Salam Pildun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H