[caption id="attachment_314529" align="aligncenter" width="320" caption="http://www.fifa.com/worldcup/matches/round=255931/match=300186510/photos/index.html#2370180"][/caption]
Aloyius Paulus Maria van Gaal, yang tenar dengan Louis van Gaal (dibaca van Haal), mungkin satu sosok yang paling pas untuk mewakili karakter orang Belanda yang terkenal dengan fungsionalitas, dan konvensional untuk standar Eropa, sekali pun di abad milenium. Orang londo memang selalu cuek dengan penampilan, tidak penting, Niet belangrijk. Mereka hanya antusias dengan sesuatu yang besar dan mencengangkan.
Seperti yang dikutip majalah Kickers, van Gaal lahir di Amsterdam tahun 1951, dan sejak umur 12 tahun, dia rajin menyambangi tempat latihan klub Ajax dan melihat bagaimana penemu total football, Rinus Michels, melatih tim kota kelahiranya itu. Sampai pada gilirannya, pada tahun 1992, van Gaal-lah yang diberi kehormatan untuk melatih klub Ajax.
Disinilah publik bola mulai memuji kejeniusannya. Ajax era van Gaal merupakan klub yang begitu dikenang karena idealisme, dengan merancang konsep sepak bola yang rapih dan sangat terukur. Kita tak pernah bisa lupa karya hebatnya pada tahun 1995, saat Ajax yang dihuni pemain muda yang dia didik menuai sukses menjuarai Liga Champions, sekaligus menghentikan dominasi klub AC Milan (Italia) ketika itu.
Namun idealisme van Gaal tak kuasa menahan industri yang kian mencengkeram sepak bola. Banyak pemain yang dipolesnya sejak bocah, hengkang ke klub elit Italia dan Spanyol. Ia pun hengkang. Setelah lima tahun mengukir era emas Ajax, van Gaal berlabuh ke Catalunya, Spanyol, membesut Barcelona. Klub yang dianggapnya dapat menampung potensi kejeniusan dan prinsip sepak bola yang ia cita-citakan. Begitu pun ketika kembali ke Belanda menukangi AZ Azkmark, dan hijrah ke Bayer Munchen. Ia menanamkan filosofi bermain yang khas, meski pada saat kejayaan Barca dan Bayern, van Gaal sudah tak bersama.
****
Melatih Oranye pada Piala Dunia 2014, bagi van Gaal adalah edisi keduanya. Jika ada noda dalam karir kepelatihan, maka tak lain adalah kegagalan membawa Belanda lolos ke Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang, setelah kalah bersaing dengan Portugal dan Irlandia di kualifikasi.
Di Brasil, van Gaal sepertinya ingin menebus aib 12 tahun silam dengan prestasi besar yang belum pernah bisa diraih, sekalipun Rinus Michels, Piala Dunia. Meski menghormati Michels, namun van Gaal lebih memilih pragmatisme sepak bola, yang membuatnya selalu berseberangan ideologi dengan Johan Cruyff, murid terhebat Michels. Bagi van Gaal tak ada yang lebih hebat daripada hasil sepak bola, karena van Gaal adalah orang yang senantiasa bekerja dengan konsep terukur.
van Gaal kembali menghidupkan formasi 5-3-2, atau di lapangan lebih banyak menjadi 3-5-2, meski ia dihujani kritik karena formasi yang ia pilih terlalu bertahan dengan menumpuk lima pemain belakang dan dua gelandang bertahan. Ia dinilai meninggalkan pola 4-3-3 yang menciptakan total football, khas Oranye. Padahal, meski berposisi bek sayap, Daryl Janmaat di kanan, dan Daley Blind sisi kiri, lebih sering membantu penyerangan daripada di daerah pertahanan sendiri. Ini membuat variasi penyerangan Belanda dianggap sangat variatif.
Lima pertandingan yang telah dijalani van Persie dan kawan-kawan menunjukkan sekali lagi secara terang benderang bagaimana taktik jenius dan pengalaman menir Gaal berperan krusial. Spanyol sang juara dunia, dibuatnya mengalami kekalahan terburuk dalam sejarahnya, 1-5. Australia, dan Chile juga menyerah, membuat Belanda menjadi pemuncak grup B, yang disebut grup neraka.
Kegeniusan van Gaal yang paling kentara terlihat pada dua fase knock-out. Di perdelapan final menghadapi Meksiko di bawah terik matahari yang menyiksa anak-anak asuhnya, Belanda sempat tertinggal di babak kedua. Namun tak sedikit pun kepanikan di wajah van Gaal, ia terus meracik strategi menaklukkan lawan dan cuaca. Di laman FIFA.com, van Gaal tercatat tiga kali merombak formasinya dalam waktu yang singkat. Dia juga jeli dan tak takut menarik bintang dan kapten Van Persie. Hasilnya Jan Klass Huntelar yang masuk belakangan, menjadi algojo penentu kemenangan, setelah gol roket Weshley Sneidjder tiga menit sebelum pertandingan selesai.
Giliran Kosta Rika di perempat final yang menjadi kecermerlangan kombinasi kompleks antara rencana matang dan spontanitas van Gaal. Tak pernah ada sebelumnya pelatih manapun berani mengganti kiper hanya untuk berlaga dalam adu penalti. Namun van Gaal selalu berbeda, Tim Krull yang ditunjuk, menjawab kepercayaan dengan memblok dua tendangan penalti pemain los ticos, sekaligus mengantar Belanda ke semifinal.
***
Argentina, sang juara dunia dua kali, akan menjadi lawan sepadan bagi Belanda di semifinal. Dua tim raksasa memperebutkan satu tiket final. Kita hanya menimbang-nimbang strategi apalagi yang keluar dari otak Van Gaal.
Namun mesti menjadi catatan, walau setiap dekade tim Belanda punya pelatih brilian dan pemain generasi emas, Belanda selalu gagal menghapus sebuah predikat negatif yang terus melekat sejak di Piala Dunia 1974, The best team never to win a cup. Satu faktor adalah kegagalan melawan diri sendiri, para pemain Belanda sudah terkenal selalu dihinggapi kepercayaan diri yang kelewat batas.
Salam Pildun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H