Lihat ke Halaman Asli

Konflik di Daerah, Salah SBY atau Pemda?

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu buah penting dari reformasi adalah terdistribusinya kekuasaan dari sistem yang sentralistik menjadi desentralistik melalui otonomi daerah. Namun tampaknya otonomi daerah belum sepenuhnya berjalan sebagaimana diharapkan.
Bahkan kekuasaan di daerah melahirkan raja-raja kecil yang justru mengalienasi kepentingan masyarakatnya. Munculnya konflik dan tindak kekerasan di daerah merupakan salah satu bukti kegagalan pemerintah daerah memahami kondisi masyarakatnya.
Fakta ini sekaligus menghambat terhadap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pusat, khususnya Presiden SBY bagi kepentingan daerah. Program nasional yang seharusnya bisa dinikmati oleh masyarakat terkendala oleh kepentingan segelintir elite daerah, termasuk penyimpangan dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ini semua terjadi karena distribusi kekuasaan (otonomi daerah) dipahami sepenuhnya sebagai tujuan, bukan jalan atau cara untuk mendekatkan negara pada masyarakat. Otonomi daerah menjadi bancakan politik elit di daerah untuk melanggengkan kepentingan kekuasaannya.
Hal tersebut disampaikan dosen ilmu politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A Bakir Ihsan, dalam diskusi bertajuk, “Politik Tak Hanya Kekuasaan” yang berlangsung di Hotel Nikki, Denpasar, Rabu, 31 Oktober 2012.


Diskusi yang digelar oleh Staf Khusus Presiden Bidang Publikasi dan Dokumentasi tersebut dihadiri unsur organisasi kemasyarakatan (ormas), pemuda, partai politik, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan mahasiswa. Diskusi ini merupakan bagian dari serangkaian diskusi yang digelar di beberapa daerah, untuk mendengarkan pandangan masyarakat mengenai kepemimpinan nasional maupun isu-isu yang berkembang di tingkat lokal.
Menurut Bakir, orientasi kekuasaan an sich yang dioperasikan oleh partai politik menyebabkan tergerusnya kepentingan lokal yang sejatinya terepresentasi oleh pemerintah daerah seiring penerapan otonomi daerah. Pada titik ini, otonomi daerah belum menjadi jalan keluar dari masalah yang selama ini disebabkan oleh kekuasaan yang berpusat di Jakarta, tapi justru menjadi bagian dari masalah di daerah itu sendiri. Karena itu, menurut Bakir, perlu reorientasi politik yang harus dimotori oleh partai politik dan dikawal oleh berbagai elemen masyarakat di tingkat daerah, agar kekuasaan betul-betul untuk kepentingan rakyat.
Penguatan otonomi daerah yang menghargai terhadap potensi-potensi dan kearifan lokal akan menjadi landasan kuat bagi demokrasi sekaligus akan menutup celah munculnya konflik-konflik sosial yang tidak perlu.


Hal senada disampaikan Dekan FISIP Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Denpasar, I Nyoman Subanda yang melihat masih belum maksimalnya implementasi tujuan utama otonomi daerah, yaitu mendekatkan negara pada rakyatnya. Otonomi daerah tak lebih perebutan kekuasaan di tingkat daerah dan masyarakat tak juga merasakan manfaatnya yang maksimal. Menurut Subanda hal tersebut tak sepenuhnya menjadi kesalahan pemerintah daerah. Hal ini juga terkait dengan peran pemerintah pusat untuk secara optimal mensosialisasikan dan mengkomunikasikan kebijakan pusat sehingga daerah betul-betul mampu memahami dan mengimplementasikannya di tingkat daerah.
Menurutnya, sulit dimungkiri bahwa tidak sedikit pemerintah daerah yang tidak paham dengan kebijakan pusat, baik karena faktor internal pemerintah daerah maupun karena kebijakan itu sendiri yang belum efektif. Sehingga perlu monitoring dan advice yang intes dari pusat agar kerja-kerja di tingkat daerah bisa maksimal dan tidak selalu melemparkan masalah di daerah pada pusat, terlebih pada Presiden SBY. Di sinilah perlunya sinergisitas antara pusat dan daerah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline