Lihat ke Halaman Asli

Cintya SihNareswari

Universitas Airlangga

Doxxing Sebagai "Last Defense" dalam Berargumen

Diperbarui: 22 Desember 2024   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar URL (Sumber: Slamet Nurhadi di Pinterest)

Di dunia maya, sekali informasi Anda bocor, itu akan selamanya tersimpan di sana. Fenomena doxxing adalah pengingat betapa rapuhnya privasi kita di era digital yang serba terhubung. Menurut International Encyclopedia of Gender, Media, Communication, doxxing ialah penyebaran informasi pribadi secara daring tanpa persetujuan orang yang bersangkutan dan sering kali diikuti dengan niat jahat. Penyebaran ini bisa berupa nomor telepon, alamat rumah, foto keluarga, dan informasi lainnya yang bersifat rahasia. Term etymologies banyak sekali digunakan untuk mendefinisikan doxxing, tetapi lewat laporan firma cyber security Kapersky, kata doxxing datang dari frasa "dropping documents" yang selanjutnya kata "documents" menjadi "dox". Hacker melakukan serangan lewat dunia maya atau doxxing sejak 1990 an.

 Karima Brown seorang jurnalis dan penyiar asal Afrika Selatan secara tidak sengaja mengirim pesan pada tahun 2019 ke grup WhatsApp yang dikelola oleh partai politik Economic Freedom Fighters. Kemudian Brown digugat oleh pemimpin partai EFF, Julius Malema, karena dicurigai memata-matai EFF dengan menyebar nomor telepon Brown kepada 2,3 juta pengikut EFF. Akibatnya banyak ancaman seperti pemerkosaan dan pembunuhan diterima oleh Brown dan selanjutnya Ia melaporkannya. Diputuskan lah oleh CPJ, pengadilan tinggi di Johannesburg bahwa tindakan tersebut melanggar UU Pemilu negara tersebut. Dari kasus tersebut dapat terlihat jika seseorang sudah merasa terancam, Ia tidak akan segan menyebar informasi rahasia orang lain tanpa melihat efek domino di masa depan. 

Lalu bagaimana jika sewaktu-waktu kejadian seperti ini terjadi pada kita? Langkah pertama tentu saja adalah melaporkan tindakan doxxing tersebut via daring sesuai dengan platform masing-masing. Sebagai contoh pada akun twitter terdapat fitur Laporkan Cuitan. Pengguna twitter dapat langsung melaporkan cuitan jika cuitan tersebut dianggap melanggar kebijakan platform, seperti mengandung ujaran kebencian; mengandung ancaman kekerasan; spam atau penipuan; konten eksplisit atau sensitif; dan pelecehan atau intimidasi. Selain platform twitter, TikTok juga menyediakan wadah pelaporan kejahatan doxxing bagi penggunanya. 

Kasus doxxing di Indonesia sendiri terus meningkat setiap tahunnya seperti yang dikatakan oleh Judicial Case Analyst Mahkamah Agung (MA) Abiandri Fikri Akbar. Bahkan kasus kebocoran data di Indonesia berada pada posisi ketiga terbanyak (data tahun 2022). Dengan fakta tersebut dan guna melindungi data pribadi masyarakat, maka hadirlah UU 27/2022 dan juga UU 19/2016.  Abiandri menilai, UU 19/2016  turut mengatur doxing dalam beberapa pasal.  Yakni Pasal 26 dan Pasal 45. Sementara dalam UU 27/2022 mengatur sanksi doxxing dalam Pasal 67. Bahkan UU 27/2022 mengatur secara jelas, apa itu data pribadi  bersifat spesifik dan data pribadi bersifat umum. 

"Bijaklah dalam menggunakan media sosial dan jangan lupa pastikan keamanan jaringan yang digunakan," ujar Abiandri. 

Terkesan sepele, tetapi langkah tersebut tentunya berguna untuk menjaga data pribadi sendiri dari pencurian data. Terlebih lagi kejahatan ini menimbulkan dampak yang sangat luar biasa, seperti rasa malu; diskriminasi; cyberstalking; dan physics stalking

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline