Kita semua hampir pasti bisa menyebut nama-nama aktor Hollywood kulit hitam yang mumpuni. Begitu pula penyanyinya, komedian atau pemain basket. Eksistensi mereka diakui bukan cuma di negerinya sendiri, tetapi juga di seluruh dunia.
Berbarengan dengan itu, hampir pasti kita semua juga tahu bahwa diskriminasi rasial terhadap penduduk kulit hitam bukan sekedar isu di Amerika Serikat. Here and there, it happened.
Film American Sons tayang di Netflix baru-baru ini. Film berdurasi 2 jam ini bercerita tentang prasangka, stereotipe, kebencian. Juga cinta. Antara dua ras: kulit hitam dan putih.
Seorang ibu kulit hitam mendatangi kantor polisi setempat karena hingga dini hari anaknya yang berusia 18 tahun, tidak ada kabar. Ia pergi bersama dua temannya yang juga berkulit hitam, dengan mengendarai mobil. Sang ibu begitu cemas. Ia kuatir anaknya diprasangkai buruk oleh polisi kulit hitam dan kemudian ditangkap begitu saja tanpa alasan jelas.
Seorang polisi muda, berkulit putih, menerima laporan si ibu. Karena melihat warna kulit sang ibu, ia langsung memberikan pertanyaan-pertanyaan stereotipe orang kulit hitam: apakah bertato, apakah bergigi emas, apakah pernah ada catatan kriminalitas, apakah berambut gimbal, dan sebagainya.
Kisah ini semakin menarik ketika sang ayah menyusul datang ke kantor polisi. Sang ayah ternyata berkulit putih. Ya betul. Anak mereka adalah anak campuran. Si polisi muda langsung saja berubah sikap dan melayani dengan lebih serius laporan anak yang hilang ini.
Hingga di situ, mungkin kita langsung terburu-buru menyimpulkan film ini semata soal pembelaan terhadap orang kulit hitam. Nope it's not.
Ikuti terus alurnya hingga sampai pada terkuak bahwa polisi yang menangkap anak tersebut ternyata juga berkulit hitam. Dan kepala humas kantor polisi yang menyampaikan informasi kepada si Ayah dan Ibu soal anak mereka, juga berkulit hitam.
Kisah ini awalnya dirangkai untuk pertunjukan teater di Broadway. Itulah mengapa kekuatan narasinya bertumpu pada dialog. Dengan jumlah pemain hanya 4 orang, dialog yang dibangun antar pemain bisa dikatakan begitu intens.
Bagi saya, banyak sekali pelajaran berharga yang bisa diambil dari film ini. Saya tidak akan membuat spoilernya. Dengan segala kerumitan di dalamnya, film ini sangat indah. Dialog-dialog antar pemain seolah adalah sebuah kontemplasi yang biasanya terjadi di dalam pikiran manusia, tanpa orang lain tahu. Hingga akhirnya perjalanan kontemplasi itu tiba di ujung terowongan dan melihat cahaya. Sebuah pencerahan. (Christine Setyadi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H