Beberapa waktu lalu saya berkenalan dengan sebuah buku berjudul Komponis Kecil, penulisnya Soesilo Toer. Lantas saya membacakannya untuk anak, si 10 dan 12 tahun. Hampir setiap malam.
Bukunya kecil. Tidak sampai sebesar kertas ukuran A5. Babnya pendek-pendek. Tetapi ada juga beberapa yang lebih panjang dari bab lainnya. Ketebalannya cukup saja.
Buku ini berkisah soal seorang bocah lelaki bernama Henki. Kehidupannya 360 derajat berbeda dari kehidupan saya dan keluarga saat ini. Jamannya saja sudah beda.
Di cerita itu saya mengira-ngira kejadiannya di tahun 40-an. Kemungkinan sudah melewati proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, namun yang kondisinya masih terjadi perlawanan dan bentrok dengan pihak Belanda di sana-sini.
Henki seorang anak yatim. Anak seorang gerilyawan. Begitulah Henki berbangga hati menyebut Ayahnya. Di sisi lain, ada kekosongan di hatinya, menunggu sang Ayah yang tiada kabar semenjak pamit untuk bergerilya melawan penjajah.
Henki, anak tertua, yang meski ia pun seorang bocah, sudah menjadi pegangan dan sandaran ibunya. Demi uang, ia menjadi pengantar bunga untuk orang-orang yang berkunjung ke kuburan Kober, sebuah pemakaman yang bertetangga dengan kampung rumahnya.
Hingga suatu hari, pertemuannya dengan seorang asing tua, ia panggil dengan sebutan Meneer Kleber, membawa kisah hidupnya berbelok. Bertambah warna baru. Meneer Kleber mengupahnya sebagai tukang kebun dan mengajarkannya bermain biola. Mengajarkannya untuk tidak menyerah menekuni sesuatu meski amat susah dan rasanya ingin menyerah.
Dari Meneer Kleber, Henki si bocah Betawi, belajar soal cita-cita yang tinggi, soal dunia yang lebih luas dimana karya-karya musik klasik diciptakan.
Namun Henki tetaplah Henki, yang memegang identitas utamanya adalah seorang anak gerilyawan. Hal ini juga yang membuatnya bimbang apakah ia telah berkhianat terhadap tanah airnya karena bekerja dan berguru musik dengan Meneer Kleber, seorang bule Eropa. "Semua yang rambutnya kuning ya penjajah!"begitu ucapan Memet sahabatnya.
Dari buku ini saya belajar untuk tidak selalu berharap akan ada sebuah happy ending dari kisah sebuah buku. Happy ever after. Bahagia selamanya. Begitulah akhir banyak kisah dongeng yang saya baca dulu maupun sekarang.
Soesilo Toer tidak menulis demikian. Ia menulis sejujur-jujurnya kisah anak manusia. Kisah yang terus bergulir, terus berjalan, dengan tantangan, pergulatan, kepenuhan yang berbeda-beda hingga pada akhir hayat setiap manusia. (Christine Setyadi)