"Dikontrakan" adalah kata yang meresahkan. Kita bisa menjumpai kata tersebut di berbagai tempat dengan berbagai variasinya: 'rumah dikontrakan', 'rumah di kontrakan', 'rumah di kontrakkan', atau yang paling jarang 'rumah dikontrakkan'. Mengapa kata tersebut meresahkan, adakah yang menyadari? Kalau tidak ada yang resah dengan kata tersebut, maka wajar jika kata-kata tersebut terus bertebaran di berbagai tempat.
Sesungguhnya kata tersebut meresahkan karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Pelajaran jaman sekolah dulu mengajarkan bahwa sebuah kata dasar dapat menjadi kata bentukan dengan menambahkan awalan dan akhiran. Dalam konteks kata tersebut, maka yang terjadi adalah kata 'kontrak' diberi awalan 'di' dan 'kan' sehingga terbentuk kata kerja pasif yang menunjukkan bahwa rumah tersebut sedang ditawarkan untuk disewa orang lain. Berdasarkan ketentuan tersebut, kata bentukan yang tepat adalah 'dikontrakkan' dengan kata k dobel.
Mengapa bukan 'dikontrakan', karena sebagai kata kerja imperatif yang secara implisit menunjukkan perintah untuk dilaksanakan, maka akhiran yang tepat adalah 'kan' bukan 'an'. Mengapa bukan 'di kontrakan' dengan awalan 'di' dipisah, karena kata 'di' adalah sebagai awalan sehingga penulisannya harus digabung. Kata 'di' dan 'ke' memang seringkali rancu dengan fungsinya sebagai kata depan yang menunjukkan tempat. Apabila kata tersebut sebagai kata depan, maka penulisannya dipisah, seperti 'di rumah', 'ke sekolah', dan sebagainya.
Mengapa kita sering sekali menemukan kesalahan-kesalahan yang sepertinya sepele tersebut. Kesalahan tersebut seringkali bukan hanya di ruang publik yang tidak resmi, namun juga pada media-media resmi seperti surat kabar dan TV yang seharusnya memiliki standar kebahasaan yang ketat. Beberapa hal mungkin dapat diperkirakan sebagai penyebab.
Pertama mungkin karena kita tidak pernah benar-benar memahami ejaan bahasa yang berlaku. Hal ini karena memang kita tidak pernah secara serius diberi pemahaman mengenai ejaan yang berlaku tersebut. Sosialisasi mengenai ejaan bahasa Indonesia yang berlaku seringkali tidak bergaung dengan baik, sehingga tidak semua lapisan masyarakat memiliki pemahaman mengenai ejaan tersebut. Pengetahuan mengenai Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) misalnya, hanya diberikan secara selintas dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, sementara sosialisasi dalam bentuk kampanye yang menarik perhatian jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan sedikitnya materi mengenai EBI yang diketahui oleh masyarakat.
Kedua, kita tidak pernah menganggap penting mengenai bahasa tulis. Kultur masyarakat kita adalah pengguna bahasa lisan dengan minat baca yang rendah. Rilis Kemenko PMK berdasarkan survei yang dilakukan Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada tahun 2019 menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 62 dari 70 negara, atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah. Hal ini membawa konsekuensi abainya kita terhadap norma-norma dan aturan yang berlaku dalam bahasa tulis yang digunakan.
Ketiga, kita memang terbiasa tidak mengikuti aturan yang berlaku. Ada adagium yang berlaku di negeri kita bahwa aturan dibuat untuk dilanggar. Hal ini menyebabkan kita terbiasa untuk melanggar aturan tanpa merasa bersalah. Aturan mengenai kebahasaan yang sudah ditetapkan dalam EBI misalnya, dapat dengan mudah dilanggar tanpa merasa bahwa hal tersebut seharusnya tidak dilakukan. Keempat, bercampurnya berbagai bahasa yang terbiasa dipergunakan dalam komunikasi sehari-hari. Jamak terjadi kita menggunakan bahasa yang campur aduk, antara bahasa Indonesia, bahasa Inggris maupun bahasa daerah. Hal ini menyebabkan tidak jelasnya aturan yang dipergunakan dalam penulisan bahasa tersebut.
Seyogyanya memang pihak yang berwenang melakukan berbagai langkah agar kesalahan-kesalahan yang terjadi di masyarakat dapat diminimalisir. Diperlukan sosialisasi dan kampanye yang menarik, bukan hanya secara formal di sekolah-sekolah, namun juga di ruang publik melalui berbagai media, baik dalam jaringan (online) maupun luar jaringan (offline). Baliho-baliho yang seringkali kosong dan bertebaran di sepanjang jalan dapat diisi dengan pesan-pesan singkat mengenai beberapa aturan berbahasa yang benar. Demikian juga media sosial dapat menjadi alat yang ampuh untuk menularkan virus berbahasa yang baik dan benar melalui berbagai meme maupun sebagai media diskusi yang menarik. Semoga ke depan, masyarakat kita akan semakin sadar pentingnya berbahasa dengan baik dan benar, karena cara berbahasa menunjukkan ketinggian budaya kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H