Era ini mungkin memang telah ditahbiskan menjadi era informasi, dan banyak orang sadar atau tidak telah tercebur dalam dunia tersebut yang memiliki logika dan aturan mainnya sendiri. Mereka yang mungkin belum terbiasa akhirnya terkaget-kaget, dan tidak siap dengan konsekuensi dan dampak yang ditimbulkan dari kuatnya daya tarik dunia baru tersebut. Informasi yang dahulu bergerak lambat melalui kabar angin, berkembang lewat media cetak, kemudian dipercepat lagi melalui media elektronik seperti radio dan televisi, kemudian tersebar lebih cepat dan massif lewat media sosial yang didukung oleh teknologi internet.
Media mutakhir ini akhirnya menjadi panggung baru bagi banyak orang, yang dahulu mungkin harus bersusah payah untuk dikenal, mengemukakan pendapat dan memiliki nama, akhirnya sekarang dapat dicapai dengan jauh lebih mudah dan singkat. Nama-nama seperti Jonru, TrioMacan, juga beberapa nama di Kompasiana ini menunjukkan bahwa media sosial berbasis ICT ini memiliki kekuatan yang tidak dapat diremehkan begitu saja.
Namun demikian, kekuatan media baru ini mungkin dapat dilihat sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, kekuatan media tersebut dapat digunakan untuk berbagai energi positif, seperti penggalangan dana dan berbagai macam upaya solidaritas di media sosial. Namun di sisi lain, media tersebut juga dapat menyebarkan energi negatif, seperti kebencian dan berbagai penyimpangan dan pembelokan informasi yang disengaja untuk kepentingan tertentu.
Kita tentu sudah sangat hapal berbagai praktik semacam itu yang marak misalnya pada Pilpres yang lalu. Uniknya, pandangan mengenai sifat positif dan negatif dari informasi itu dapat berbeda-beda, tergantung dari di pihak mana seseorang berdiri dan bagaimana sifat menguntungkan dan merugikan dari informasi tersebut.
Salah satu contoh penyebaran informasi yang tidak terkendali adalah pada beberapa kasus yang terjadi belakangan di Jakarta, seperti pada pemboman di Thamrin dan tewasnya Mirna. Dalam kedua kasus tersebut, berbagai informasi saling sengkarut seolah berebut mencari kebenarannya masing-masing. Mungkin memang, tidak ada kesengajaan hal tersebut dilakukan, yang terjadi secara spontan karena keinginan untuk paling update dan paling eksis melalui media sosial.
Konsekuensinya, yang terjadi justru kebingungan mengenai kebenaran yang sesungguhnya. Dalam kasus Bom Thamrin misalnya, sempat tersebar misalnya danya peledakan bom di berbagai wilayah lain seperti Palmerah, Slipi dan sebagainya. Sempat tersebar secara meyakinkan bagaimana pelaku mengendari mobil Terios dan menembaki orang-orang di jalanan, yang ternyata semua hanya isu semata. Dapat terlihat bagaimana berbahayanya penyebaran informasi yang tidaka diketahui ujung pangkalnya yang kemudian tidak diketahui kebenarannya.
Dalam kasus Mirna, sebuah kasus hukum yang sesungguhnya memiliki pakem dan aturan sendiri yang semestinya ketat, dapat menjadi sebuah silang pendapat layaknya talk show, antara pihak korban dengan tersangka, juga polisi. Semuanya akhirnya terasa tidak pasti, yang sebelumnya sebagian besar informasi dapat disetir oleh polisi maupun pengadilan. Saat ini seolah semua memiliki peran yang setara dan mampu menggiring opini publik. Tinggallah kita sebagai penerima informasi yang terbengong-bengong mencoba mengenali kebenaran manakah yang sesungguhnya.