Lihat ke Halaman Asli

Reuni, Antara Nostalgia dan Sisi Gelapnya

Diperbarui: 24 Juli 2015   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masa lalu memang seringkali menjadi kenangan terindah, seburuk apapun kenangan itu, yang memicu kerinduan untuk mengalaminya kembali. Apalagi jika masa lalu itu adalah masa anak-anak yang terasa tanpa beban, seperti masa bersekolah di sekolah dasar. Kerinduan itu kemudian memunculkan keinginan untuk berkumpul kembali, mengenang berbagai kejadian yang pernah terjadi, juga menceritakan kembali apa yang telah dialami sepanjang berpisah. Demikianlah juga yang terjadi dengan kami, alumni SD Bantul III Yogyakarta, yang telah berpisah sekian lama sejak lulus tahun 1985, atau 30 tahun yang lalu. Banyak dari kami yang sudah terpisah tanpa sekalipun pernah saling kontak, menelusuri hidup masing-masing, dan sekarang memiliki keinginan yang sama untuk berkumpul kembali. Diawali dari pertemuan di facebook oleh beberapa teman, kemudian terbentuklah grup alumni WhatsApp pada sekitar awal Juni yang lalu, yang kemudian terwujud dalam pertemuan-pertemuan buka bersama untuk mematangkan rencana reuni, hingga akhirnya terwujudlah reuni itu pada 21 Juli 2015 yang lalu.

Bernuansa santai dan informal, kami berkumpul di rumah seorang kawan yang kebetulan cukup luas sehingga mampu menampung teman-teman yang apabila dijumlah seluruhnya akan mencapai 60an orang. Hingga akhir acara teman-teman yang hadir sekitar 28 orang, lumayan untuk persiapan yang cukup singkat dengan personil yang terbatas. Setelah berkumpul, mengobrol dan makan makanan kecil sekitar jam 10an kami mulai bergerak untuk mengunjungi beberapa orang guru yang masih sugeng, yang kami identifikasi sejumlah 4 orang. Kebetulan rumah para guru tersebut cukup berdekatan, sehingga kami tidak perlu memerlukan waktu lama untuk mengunjungi mereka semua. Sempat tidak ketemu ketika mengunjungi guru pertama yang adalah guru agama kami dahulu, kami kemudian sukses mengunjungi guru olahraga kami yang masih tampak segar di usia senjanya. Bapak guru yang dari dulu bergaya agak preman itu menyambut kami dengan hangat di rumahnya, dan kemudian kami culik untuk ikut mengikuti acara selanjutnya bersama teman-teman sembari mampir ke guru-guru kami lainnya.

 Pada kunjungan ke rumah ibu guru ke 3, kami juga menemukan rumah kosong, karena beliau sedang ke luar rumah, namun alhamdulillah secara tidak sengaja dapat bertemu di rumah ibu guru terakhir yang kebetulan memang rumahnya berdekatan. Kangen-kangenan yang hangat dan mengharukan kembali terjadi, baik diantara kami maupun diantara Bapak Ibu guru yang ternyata juga telah jarang bertemu.

 

Acara kemudian dilanjutkan kembali di rumah teman dengan cerita masing-masing mengenai di mana tinggal, kegiatannya dan tak lupa juga mencatat nomor kontak sehingga sewaktu-waktu dapat kembali berhubungan dan tak lepas silaturrahim, sembari makan bakso yang sudah disediakan juga berbagai camilan. Sehabis itu, acara bebas, di mana setiap orang dapat berinteraksi dengan teman lainnya, ada yang kemudian memilih pulang terlebih dahulu karena mungkin ada urusan lain, dan kemudian ada juga yang mengunjungi seorang teman yang memiliki kolam ikan untuk menangkap ikan bersama-sama. Memang, masing-masing sepertinya dilingkupi suasana kegembiraan seperti masa kecil dulu yang tidak rela begitu saja meninggalkan suasana itu.

 

Saya sendiri harus meninggalkan lokasi karena ada acara takziah di tempat saudara yang tidak bisa ditinggalkan. Di perjalanan pulang, di tengah senyum-senyum simpul mengingat berbagai kehangatan dan kegembiraan reuni tadi, saya merasakan beberapa hal yang memasygulkan hati.

Yang pertama adalah soal perjalanan nasib manusia, yang akhirnya masing-masing akan memiliki jalan hidupnya sendiri. Ada yang mungkin terlihat sukses secara materi, ada mungkin yang terlihat lebih matang dalam ruhaniahnya, atau ada juga yang mungkin meraih kedua-duanya. Memang semua hanya dapat melihat dari fisik dan kulit semata, yang tidak sepenuhnya dapat melihat seperti apa kehidupan mereka yang sebenarnya. Pada akhirnya semua perbedaan itu seharusnya tidak menjadi pembeda dalam pergaulan antar teman sebagaimana dahulu pernah bergaul bebas ketika kecil. Saya bersyukur, mereka yang hadir kemarin tampak menikmati bersama-sama kebersamaan yang terjadi, mereka dapat mengabaikan berbagai perbedaan yang mungkin ada dan larut dalam kebersamaan sebagaimana masa kecil dulu. Ya, seharusnya pada usia yang mulai mapan ini, kami memang sudah dalam taraf menerima apapun jalan hidup yang ditentukan Tuhan, dan hidup dalam kegembiraan dan kebersamaan bersama dengan teman-teman dan masyarakat di sekeliling kami. Menjadi manusia yang berguna dan bermanfaat bagi sesama, mungkin itu tujuan kami saat ini.

Yang kedua adalah soal kenangan masa lalu yang seolah membawa kami kembali pada masa-masa kecil itu, yang faktanya kondisinya sangat berbeda saat ini. Ada keluarga, istri, suami dan anak-anak yang menjadi pembatas kami untuk bergaul bebas seperti dulu lagi. Memang tidak dapat dimungkiri, masa-masa itu juga penuh dengan kisah, termasuk kisah cinta masa kecil yang sering disebut cinta monyet itu, yang ternyata harus disadari seringkali tidak sesederhana sebagaimana terlihat. Kisah cinta yang muncul ketika masa-masa murni dan polos itu jangan-jangan merupakan wujud cinta dari lubuk hati yang terdalam yang tak mudah untuk dihapuskan. Untuk kasus semacam ini, tentulah pertemuan-pertemuan semacam reuni ini dapat menjadi pembuka luka maupun perasaan lama yang mungkin masih tumbuh. Dan apabila itu diteruskan, bukan tidak mungkin akan berakhir bencana. Tentu skenario ini tidak menjadi bayangan dan pilihan dari semua orang, dan semoga tidak pernah akan terjadi diantara kami dan teman-teman.

Yang ketiga adalah perbedaan pandang dalam menyikapi pertemanan yang terjadi. Ketika sekian lama berpisah, masing-masing tentu memiliki jalan dan pemahaman hidup yang berbeda, yang seringkali berbeda jauh dengan sifat dan karakter mereka ketika kecil. Banyak yang masih sama dan kebanyakan memandang teman-teman masih sama seperti dulu, yang seringkali ternyata tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan. Berbagai canda dan guyonan yang terjadi, terutama yang terjadi dalam grup WA bukan tidak mungkin akan diterima berbeda yang mengakibatkan yang bersangkutan tersinggung dan kemudian keluar dari grup. Hal yang lebih mendalam juga dapat terjadi misalnya teman yang dahulu terkenal bengal dan nakal, yang saat ini mungkin berniat insyaf seinsyaf-insyafnya, yang kemudian merasa tidak nyaman dengan berbagai guyonan yang menurutnya mungkin sudah lewat masanya. Ya, memang berbagai niat dan cara pandang yang berbeda dapat menimbulkan perbedaan dalam menyikapi pertemuan-pertemuan yang terjadi, yang tidak selamanya kemudian menimbulkan kenyamanan di hati.

Demikianlah, reuni, dibalik berbagai romantisme dan nostalgia yang terjadi, mungkin juga memunculkan sisi gelap yang harus diwaspadai. Dan semoga, semua sadar dan memahami sisi gelap itu sehingga kita semua dapat terhindar dari sikap dan tindakan yang justru memicu permasalahan, bukannya menjalin kembali sebuah silaturrahim dan pertemanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline