Ada satu hal yang dengan mudah membedakan antara Yogyakarta dengan Jakarta. Di Jakarta, kota metropolitan itu, terutama pada jalan-jalan utama sepanjang bandara ke pusat kota Sudirman - Thamrin (ketauan rute yang dihapal hehe), di beberapa tempat kita akan menemukan baliho atau spanduk bernuansa acara keagamaan, seperti pengajian oleh para Habib dan acara-acara keagamaan lainnya. Sebaliknya, di Yogyakarta, kota yang menurut banyak orang kota budaya dan pendidikan, kita akan sulit menemukan spanduk serupa, karena akan lebih sering menemukan spanduk atau baliho dari berbagai tempat hiburan malam yang menawarkan musik, (sexy) dance dan juga minuman keras, yang seringkali ditawarkan dengan terang-terangan berapa harga per botolnya. Ini sebenarnya bukan fenomena baru, karena sejak awal millenium yang lalu sepertinya sudah muncul berbagai spanduk serupa, seiring dengan munculnya berbagai tempat hiburan di Yogya. Sebut saja misalnya Hugo's, yang pernah sangat fenomenal dengan berbagai stiker khas dan plesetannya yang bertebaran di berbagai mobil, kemudian juga yang saya tahu ada Boshe dan Liquid di Jalan Magelang, yang kadang saya lewati kalau pulang ke rumah.
Tempat hiburan malam Hugo's saat ini telah ditutup sebagai dampak dari kasus keributan yang menyebabkan kematian seorang pengunjung yang kemudian diketahui anggota Kopassus. Hal ini kemudian memicu aksi para ninja yang belakangan diketahui beberapa anggota Kopassus dari Kandang Menjangan Kartasura yang menembak mati para tersangka pelaku pembunuhan anggota Kopassus tersebut di LP Cebongan Sleman sekitar Maret 2013. Kasus ini menguak berbagai hal terkait konstelasi dunia preman di Yogya, peredaran narkoba dan isu-isu HAM yang menjadi berita panas media. Kasus tersebut mungkin hanya salah satu justifikasi yang menunjukkan bahwa dunia malam memang dekat dengan berbagai aksi kejahatan dan kekerasan.
Saat ini mungkin publik sudah terlupa dengan kasus itu, dan Kota Yogya kembali marak dengan berbagai tawaran hiburan malam, yang jangkauan tawarannya bahkan hingga ke wilayah pinggiran kota. Padahal dahulu, spanduk-spanduk semacam itu hanya ditemukan di wilayah-wilayah padat anak muda dan mahasiswa yang haus hiburan, semacam Seturan, Demangan dan sebagainya. Namun saat ini, spanduk itu juga banyak dipasang di berbagai pelosok dengan karakteristik penduduk yang heterogen. Cukup mengherankan sebenarnya, siapa sesungguhnya pasar yang mereka sasar melihat begitu massifnya penetrasi informasi itu diberikan di berbagai ruas jalan. Kita dapat menyimaknya dalam beberapa spanduk yang sempat saya ambil fotonya berikut.
[caption id="attachment_386617" align="aligncenter" width="600" caption="Menampilkan AA"][/caption]
[caption id="attachment_386618" align="aligncenter" width="600" caption="Sebuah tawaran lain"]
[/caption]
[caption id="attachment_386619" align="aligncenter" width="600" caption="Berdampingan dengan berbagai acara anak-anak"]
[/caption]
[caption id="attachment_386620" align="aligncenter" width="600" caption="Berdampingan dengan baliho sebuah sekolah TK dan SD"]
[/caption]
Saya tidak tahu apakah pembaca akan terkejut menyadari bahwa spanduk yang pertama ternyata menampilkan Amel Alvi yang kasusnya sedang ramai dibicarakan itu. Spanduk itu saya ambil hanya beberapa minggu setelah kasus itu mencuat (lihat juga tulisan ini: Amel Alvi (Justru) Semakin Berkibar di Yogya). Apakah pembaca juga menyadari bahwa spanduk itu dipasang di dekat sebuah masjid sebagai tertera di bagian kanan? Apakah pembaca merasa ada yang salah atau biasa-biasa saja? Lalu adakah komentar terhadap spanduk terakhir yang dipasang di depan sebuah sekolah TK dan SD tempat anak saya sekolah itu? Apakah itu cukup pantas menurut pembaca? Ataukah memang justru anak-anak sekolah itu sebenarnya juga salah satu pangsa pasar mereka?
Memang sebenarnya khusus untuk yang terakhir saya tidak dapat terlalu menyalahkan, karena lokasi tersebut adalah lokasi pusat kegiatan anak muda yang dekat dengan berbagai kampus. Namun demikian, pemasangan di depan sebuah sekolah yang akan dengan mudah dilihat anak-anak itu menurut saya tetaplah bukan keputusan yang elok. Bukankah ada sebegitu panjang ruas jalan yang dapat dimanafaatkan untuk memasang spanduk, mengapa memilih di depan sebuah sekolah anak-anak?
Yang lebih patut dipermasalahkan sebenarnya adalah pemasangan spanduk di depan rumah ibadah, yang seringkali terjadi pada berbagai ruas jalan di pinggiran kota. Saya harap ini bukan kesengajaan dan sikap-sikap melecehkan. Walaupun ada baiknya, dalam kesempatan ini saya menghimbau berbagai pihak yang terkait dengan pemasangan spanduk itu untuk memperhatikan situasi sekitar agar prasangka dan rasa tidak nyaman dapat terhapus.
Saya berharap juga kepada berbagai pihak yang memberikan izin tempat hiburan agar lebih membatasi izin yang diberikan, karena menurut hemat saya tempat-tempat ini lebih banyak aspek mudhorot dibanding manfaatnya. Semoga hal ini tidak dinilai sebagai sikap-sikap sok suci dan ketinggalan jaman, karena ini hanya sebuah curahan hati orang tua (walaupun sebenarnya masih muda, ehm), yang anak-anaknya sebentar lagi beranjak remaja dan dewasa. Semoga ada pihak-pihak yang memperhatikan.