Lihat ke Halaman Asli

Membayangkan AA

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14315164671968908939

Hiruk pikuk para Kompasioner, juga perbincangan rekan-rekan di kantor dan group WA alumni dahulu membuaat saya tergoda juga membahas mengenai isu sexy ini. Apalagi kalau bukan soal Amel Alvi, yang tak perlu lagi diterangkan panjang lebar siapa dia. Saya tidak akan membayangkan sosok dan wajah 'artis' ini karena semua sudah terpampang dengan jelas di media, lengkap dengan berbagai bumbu ceritanya. Meskipun begitu, sebenarnya ada cerita menarik dan mengenaskan mengenai hal ini, yaitu ketika pertama kali saya melihat wajah dan sosok 'artis' ini lengkap dengan berita yang mengikutinya di group WA alumni kuliah dulu, sebagaimana gambar berikut:

[caption id="attachment_383433" align="aligncenter" width="300" caption="Cantiknya..."][/caption]

Saat itu saya membatin, alangkah cantik dan elegannya wanita ini, sayang dia melakukan peran ganda semacam itu. Tapi ternyata, foto tersebut adalah salah satu dari sedikit foto yang diambil dengan bahan pakaian lengkap, karena selebihnya sepertinya bahannya kekurangan, sebagaimana yang iseng-iseng tapi serius saya search di google ini:

[caption id="attachment_417044" align="aligncenter" width="448" caption="Hhhmmm"]

143148236650686593

[/caption]

Demikianlah, meskipun saya laki-laki, dari dalam lubuk hati yang terdalam ceileee, sebenarnya saya lebih suka melihat dia dengan pakaian yang sopan dan elegan. Tidakkah dia sadar bahwa dia tercantik dengan tampilan semacam itu? Mengapa dia justru memilih untuk melucuti kecantikan itu dengan membiarkan keindahan yang seharusnya menjadi misteri itu terbuka untuk semua mata? Tapi ah sudahlah, semua itu adalah hak prerogatif dia, dan kita yang hanya sekedar menjadi pengamat dan penikmat mungkin tidak memiliki sekedar hak menyatakan pendapat agar dia merresuffle pakaiannya. Biarlah dia dengan rezim berpakaian semacam itu, mungkin suatu waktu nanti juga akan terkudeta oppooo iki.

Kembali pada membayangkan dia, saya juga tidak berpretensi untuk membayangkan tengah berdua dengannya, apalagi dalam kondisi dia tengah menjalankan apa yang kata media merupakan praktik profesionalnya yang utama. Mengapa demikian, karena mungkin saya akan lebih dahulu gemetaran dan berkeringat dingin. Bukan, bukan karena keburu nafsu, tapi karena memikirkan bagaimana harus melunasi pembayarannya. Jadi biarlah itu menjadi hak mereka yang merasa berhak mendapatkannya.

Di sini, saya justru ingin membayangkan untuk menjadi dirinya. Mengapa saya memilih demikian, karena berbagai tulisan tentang dirinya lebih melihat dari sudut pandang si penilai yang tentu sangat dipengaruhi oleh subyektifitas yang tak selamanya benar, meskipun hal itu bersumber dari hasil kerja jurnalistik. Apalagi saat ini banyak media yang seolah mengingatkan kita untuk menjauhi kemaksiatan, namun memberitakan kemaksiatan dan dunia malam dengan penuh nafsu, dan cukup menutupnya dengan kata-kata misalnya 'ingatlah keluarga dan hari akhir', sesuatu yang sama sekali tidak tercermin dari keseluruhan berita yang disampaikannya.

Saya ingin membayangkannya, mungkin dengan subyektifitas, namun semoga subyektifitas yang mewakili dirinya (gak boleh protes), membayangkan apakah dia merasa stress dengan berita media yang hampir keseluruhan memojokkannya, juga para netizen bangsa ini yang terkenal pemarah itu, yang menghujaninya dengan berbagai makian dan sumpah serapah walau diam-diam ikut menikmatinya. Apakah dia akan terus menyembunyikan wajah sebagaimana dilakukan banyak tersangka lain yang terkena kasus asusila dan berharap orang tidak melihat wajahnya? Apakah dia terus mengurung  diri di rumah, tidak keluar-keluar sepanjang hari, menangis hingga matanya merah dan membengkak? Demikiankah keadaannya?

Sayang sekali, saya sepertinya malah membayangkan sebaliknya. Karena dia sebenarnya sedang menerima publikasi sangat besar yang diterimanya dengan gratis. Dia tak perlu sungkan-sungkan membuat sensasi, seperti dalam jumpa pers pemutaran film perdana yang pernah dilakoninya, dengan menyiram lawan mainnya dengan air, seolah sedang terjadi permusuhan sengit diantara keduanya. Juga tak perlu membuat sensasi dengan kisah percintaan, yang akan dengan segera menjadi konsumsi media yang mengejarnya kemanapun. Tidak, ini sungguh publikasi yang jauh lebih hebat dari itu semua. Karena dia diberitakan semua media, bukan sekedar media infotainment yang biasa memberitakan hal-hal tidak penting itu, tapi juga media arus utama yang biasanya hanya memberitakan berita-berita serius. Jadi bayangkanlah, seberapa besar promosi dan publikasi yang diterimanya, tanpa dia harus mengeluarkan sepeserpun uang sebagai kompensasinya.

Dia juga tidak perlu menerangkan siapa dirinya, apa yang dilakukannya, di mana positioningnya, orang dengan mudah dapat membacanya, dan kemudian menentukan pilihannya. Mereka yang memerlukan akan dengan mudah menghubunginya, tanpa perlu lagi dia melalui calo-calo perantara seperti RA yang sudah tertangkap itu. Ini tentu dengan asumsi semua pemberitaan yang disampaikan media itu benar adanya.

Saya membayangkan dia juga tidak tinggal di permukiman padat penduduk dengan para tetangga yang saling sapa dan saling 'usil' mengurusi satu dengan lainnya. Dia dengan mudah akan memilih tinggal di sebuah apartemen eksklusif, yang setiap orang dapat datang dan pergi setiap saat tanpa harus ditanya ini itu siapa dirinya dan apa urusannya, kecuali untuk syarat keamanan. Dia bebas hidup sesuai pilihannya, tanpa seorangpun dapat menyentuh dan mengaturnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline