Lihat ke Halaman Asli

Negeri Para Netizen yang Pemarah

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14314108331002446086

[caption id="attachment_416896" align="aligncenter" width="560" caption="Ilustrasi/Tribunnews.com"][/caption]

Mungkin tanpa disadari, banyak indikasi yang menunjukkan bahwa bangsa kita dalam bawah sadarnya adalah bangsa yang pemarah. Dari mana kita dapat mengambil kesimpulan itu? Jawabnya: dari internet. Kita dapat mengamati dari berbagai status dan tweept yang berseliweran di media sosial, dengan mudah kita akan menemukan kata-kata, ungkapan, umpatan, dan juga hujatan dari para netizen kepada berbagai hal, terutama hal-hal yang tidak disukainya. Parahnya, ungkapan kemarahan itu seringkali tidak didasari oleh ketepatan pesepsi atas fakta yang terjadi. Jelasnya kita dapat melihat dalam dua gambar berikut ini:

[caption id="attachment_383176" align="alignnone" width="545" caption="Tidak teliti"]

1431394865122404601

[/caption]

[caption id="attachment_383177" align="alignnone" width="521" caption="Malas membaca"]

14313949011179802848

[/caption]

Dua gambar di atas saya ambil dari postingan di Kompasiana yang kebetulan mendapat HL dan TA. Dalam sebuah gambar pertama yang saya tautkan ke fb, seorang teman SMA mengomentari status yang saya tulis yang sebenarnya saya maksudkan untuk rendah hati (hehe), dengan sebuah komentar yang cukup pedas: maksudnya amatiran itu gimana? tidak sehebat sampeyan gitu? Saya yang membaca tulisan itu hanya mengelus dada saya sendiri, sambil bergumam, mungkin dia sedang marahan dengan istrinya jadi sensi begitu.

Di gambar kedua yang saya ambil dari laman facebook Kompasiana menampilkan komentar dari netizen yang kurang lebih merasa muak dengan 'berita' mengenai Roro Fitria itu. Padahal 'berita' itu adalah artikel yang dimaksudkan untuk tujuan yang sama dengan netizen pemarah itu, walaupun diungkapkan dengan lebih terstruktur dan sistematis panjang. Untuk yang ini saya juga hanya bisa menghela napas, sambil mengamati nama-nama indah para netizen itu yang ternyata adalah seorang yang pemarah, setidaknya di media sosial.

Demikianlah, kita dengan mudah mendapati berbagai aura kemarahan netizen di media sosial. Belum lagi di berbagai berita online yang apabila kita membaca kolom komentar akan didapati berbagai sumpah serapah dan kata makian. Demikian juga di berbagai forum komunitas, seperti Detikforum atau Kaskus kita juga akan dengan mudah mendapat fenomena serupa. Mengapa semua itu dapat terjadi di sebuah negeri yang kata orang penduduknya ramah tamah dan suka menolong ini?

Ada beberapa hal yang dapat diduga sebagai menjadi penyebab.

Pertama, keinginan untuk cepat-cepat menanggapi suatu hal tanpa mencermati lebih dalam permasalahan yang sebenarnya terjadi. Hal ini tidak terlepas dari karakter informasi dalam era yang berkembang sangat cepat ini. Sebagaimana yang diindikasikan oleh Bre Redana yang saya tuliskan dalam tulisan ini, semua hal menjadi serba cepat, tanpa kedalaman substansi.

[caption id="attachment_383180" align="alignnone" width="582" caption="Tulisan Bre Redana tentang kecenderungan perilaku netizen"]

1431396907310433041

[/caption]

Kedua, terindikasinya adanya split personality atau kepribadian yang pecah, yang ditandai dengan perilaku yang berbeda antara kehidupan sehari-hari dengan kehidupan di dunia maya. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa Bangsa Indonesia yang dikenal ramah tamah ini bisa menjadi bangsa yang pemarah di dunia lain. Mungkin fenomena ini juga dapat diterangkan dengan pisau psikoanalisisnya Freud, yang menerangkan motivasi dasar perilaku manusia mencakup id (nafsu hewaniah), ego (realita) dan superego (moral).  Selama ini mungkin berbagai norma-normal yang berlaku di masyarakat menjadi pengekang perilaku masyarakat kita, sehingga ekspresi-ekspresi kemarahan, kekecewaan dan ketidakpuasan itu terpendam dalam hati dan mengendap dalam alam bawah sadar. Media sosial akhirnya menjadi arena pelepasan emosi tersebut, karena sifatnya yang cenderung anonim. Media ini akhirnya menjadi semacam tempat katarsis masyarakat kita yang terkekang dalam dunia nyata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline