Minggu kemarin mengantar Zahra untuk lomba renang di Kampus UNY Wates, ibukota Kabupaten Kulon Progo, DIY. Dari rumah di Sleman lumayan jauh juga, sekitar 50 km, sehingga perjalanan diperkirakan sekitar 1 jam, plus mencari lokasi yang tidak memberikan hasil yang memadai dengan searching internet. Akhirnya, pagi-pagi sekitar jam 7 saya sudah keluar rumah agar tidak ketinggalan lomba pertama yang dijadwalkan mulai jam 08.00 WIB. Ketika masuk wilayah Kulon Progo selepas Jembatan Kali Progo, tiba-tiba Zahra nyeletuk,"Beneran nih gak ada iklan..." katanya. Saya yang kurang paham kemudian dijelaskan oleh dia bahwa di batas wilayah tadi ada baliho besar berbunyi kurang lebih: 'Anda memasuki wilayah bebas baliho rokok'. Wah, luar biasa juga, pikirku. Akhirnya kami iseng melihat-lihat apakah benar tidak ada lagi baliho rokok di jalanan, dan sepertinya memang benar demikian.
[caption id="attachment_380907" align="alignnone" width="500" caption="Baliho bebas iklan rokok, sumber: http://www.kulonprogokab.go.id/v21/Demi-Kulon-Progo-Bebas-Rokok--Pak-Bupati-Rela-PAD-Disunat_3505"][/caption]
Larangan ini ternyata baru diterapkan pada awal bulan April 2015 melalui Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2014 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang salah satunya melarang pemasangan reklame rokok pada tempat-tempat umum. Pemberlakuan Perda ini menunjukkan visi Bupati Hasto Wardoyo, yang adalah seorang dokter ginekolog, terhadap kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya. Beberapa tahun yang lalu ketika baru dilantik, bupati ini juga menjadi buah bibir karena bersumpah tidak akan makan nasi selama masih ada warga miskin di wilayahnya, semacam sumpah Palapa dari Mahapatih Gadjah Mada yang tidak akan makan buah palapa sebelum mampu mempersatukan Indonesia. Apabila dilihat data penduduk miskin pada periode 2011 setelah beliau menjabat hingga 2013 sebagai data terbaru yang tercatat, maka prosentasenya cenderung menurun dari 23,6% menjadi 21,4% (sumber: BPS Kabupaten Kulon Progo). Semoga data ini benar-benar data yang valid dan menunjukkan bahwa program-program yang dijalankan telah sesuai dan tepat sasaran.
Keputusan untuk menurunkan semua reklame rokok tersebut sebenarnya berimplikasi pada penurunan pendapatan daerah, yang diperkirakan sebesar Rp250 juta, atau hampir 50% dari total pendapatan reklame di Kulon Progo setahun. Apabila dihitung dengan berbagai sponsor yang melibatkan rokok, maka penurunan yang terjadi dapat mencapai 10% dari PAD atau sebesar Rp9,5 milyar. Jumlah ini mungkin dianggap kecil bagi daerah lain, namun cukup berarti bagi wilayah yang memiliki prosentase penduduk miskin dan kesenjangan kesejahteraan tertinggi di DIY ini. Namun demikian, konsekuensi ini tidak menyurutkan langkah Pemda Kulon Progo untuk menerapkan peraturan itu secara konsisten.
Meskipun demikian, kebijakan Pemda ini juga mendapat kritikan, karena meskipun menolak reklame rokok, Kulon Progo tetap bersedia menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang setiap tahun sekitar Rp2,5 milyar. Namun Bupati tetap bergeming, dengan menyebut dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) merupakan hak rakyat Kulon Progo karena banyak masyarakat yang masih merokok. "Belanja rokok rakyat Kulon Progo mencapai Rp63 miliar setiap tahun. Jadi DBHCHT merupakan hak rakyat. DBHCHT digunakan untuk membeli alat-alat kesehatan dan membangun rumah sakit," katanya, Senin (23/3/2015).
Tentu keberanian dan ketegasan Bupati ini patut diacungi jempol, di tengah berbagai kontroversi yang timbul mengenai bahaya merokok di satu sisi dan besarnya potensi ekonomi yang dihasilkan. Mungkin keberanian ini dapat disejajarkan dengan keberanian Ahok yang menerapkan Perda serupa di DKI Jakarta pada tahun 2015 ini. Keberanian bupati yang visioner ini mungkin dapat menginspirasi daerah lain untuk mengikuti jejaknya, misalnya Bandung yang sudah berwacana untuk menerapkan kebijakan serupa. Tentu kita berharap, kebijakan ini akan mampu mendorong kehidupan masyarakat yang lebih sehat dan produktif. Tentu untuk mereka yang terdampak seperti pekerja industri rokok dan petani tembakau, harus disiapkan solusi, sehingga tidak akan menjadi korban dari sebuah kebijakan yang sepertinya akan menjadi arus besar di masa mendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H