Lihat ke Halaman Asli

Tsaqif dan Kegilaan Masyarakat Kita

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14297560591848190891

Hari-hari belakangan ini media sedang ramai memberitakan tentang keberanian seorang siswa SMU di Yogya, Muhammad Tsaqif Wismadi, yang melaporkan terjadinya kebocoran soal UN yang didapatnya dari grup social media angkatannya (lihat berita ini). Sebelumnya, saya juga sudah menuliskan tentang hal tersebut, walau tanpa menyebut nama dalam posting berikut: UN di Yogya Bocor?? Berkat tindakannya itu, Tsaqif dan beberapa temannya yang melaporkan kebocoran itu pada pihak sekolah mendapatkan penghargaan dari KPK, karena dianggap memiliki integritas, kejujuran dan keberanian atas apa yang dilakukan (lihat berita berikut: Tolak Bocoran Soal UN, Tiga Siswa SMAN 3 Yogyakarta Diberi Penghargaan oleh KPK).

Namun demikian, tindakan itu ternyata mendapatkan penilaian dan tanggapan beragam dari masyarakat. Ada yang mendukung dan salut, namun ada juga yang mencibir, mengecam, bahkan mengancam. Itulah mengapa saya menyebut tindakan itu sebagai keberanian, karena banyak respon negatif yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Beragam ancaman terutama dari pesan telepon seluler menghampirinya, bahkan berupa ancaman bom molotov, yang membuatnya terganggu dan membuang nomor ponselnya. Namun demikian, anak muda ini tampak tegar dan tenang, seperti ketika berkesempatan mengunjungi ayahnya yang kebetulan salah satu manajemen di kantor kami. Beberapa teman bahkan sempat mengajak foto bersama dan menjadikannya idola baru :)

[caption id="attachment_379840" align="alignnone" width="587" caption="Bersama fans dadakan :) "]

1429761618142405025

[/caption]

Dari pengakuan yang bersangkutan (lebih banyak dari sumber media, karena cenderung pendiam dan tidak sempat banyak ngobrol ketika ketemu), dapat diketahui bahwa tindakan mengirim email kepada pihak UGM tersebut dilakukan dengan begitu saja tanpa banyak pertimbangan. Dia mengirimkan email dalam kondisi kecewa, karena kejujuran dan kerja keras yang dilakukannya, juga beberapa teman yang jujur, telah dikalahkan oleh ketidakjujuran. Dia sekedar menuntut keadilan, karena sebagaimana diajarkan oleh kedua orangtuanya, kejujuran adalah integritas pribadi yang harus dijunjung tinggi. Dia tentu tidak pernah membayangkan, email yang disampaikannya akan menjadi berita di mana-mana, menjadikan populer dan tampil di berbagai media, bahkan mendapatkan penghargaan dari KPK sebagai pribadi yang berani, berintegritas, dan jujur.

Menurut saya, niat yang paling murni seringkali dilandasi oleh rasa emosional yang muncul sesaat, tanpa pertimbangan macam-macam. Emosi sebagai dorongan yang paling dekat dan kuat, biasanya dipicu oleh adanya pelanggaran nilai-nilai yang menurutnya tidak sesuai dengan pemahaman yang diterimanya semenjak kecil, dalam kasus ini, ajaran tentang kejujuran. Dan seringkali, karena tidak adanya pertimbangan logika yang jernih, niat itu susah untuk diterangkan dengan kata-kata yang runtut. Di situlah berbagai tanggapan, cibiran dan prasangka dapat bermula. Ada yang mempertanyakan, bukankah dia juga membuka linknya, masak tidak membaca? Atau setengah menyalahkan: salahnya sendiri tidak membaca! Atau yang berkesan tidak mau repot: buat apa mempertanyakan sesuatu yang sudah terjadi, bikin repot semua orang saja. Atau yang  cari aman: sudahlah, buat apa dilaporkan, nanti malah berbalik jadi masalah, kan sudah biasa kebocoran terjadi sejak dulu.

Begitulah, orang tidak lagi berbicara mengenai substansi dari kesalahan yang telah terjadi, namun berbicara mengenai berbagai prasangka, konsekuensi tindakan dan pemakluman atas kesalahan yang terjadi. Seolah kebocoran dan ketidakjujuran adalah hal yang wajar, bahkan dilakukan baik secara terselubung atau terang-terangan dengan melibatkan tenaga pendidik. Dalam kondisi semacam itu, orang-orang yang bertindak jujur dan lurus malah dianggap aneh. Mungkin memang sudah datang jaman seperti ramalan Ronggowarsito dahulu, sebagaimana disampaikan dalam Serat Kalatidha yang secara singkat menyebutkan akan datang kondisi ketika orang: amenangi jaman edan, ora edan ora keduman. Atau artinya, orang akan menemui jaman gila, ketika orang-orang gila dipandang lumrah dan wajar, dan orang yang melakukan kebenaran dipandang sebagai orang gila dan istimewa. Memang sepertinya itulah yang terjadi kini. Dan orang-orang seperti Tsaqif ini bisa menjadi orang-orang yang kesepian, di tengah kegilaan masyarakat di sekelilingnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline