Setiap pagi, saya selalu mengantar Zahra, anak sulung yang tiba-tiba sudah kelas 3 SD itu. Sekolahnya berada di kawasan Seturan, Babarsari, sekitar 10an km dari rumah di Denggung, Jl Magelang km 9. Butuh waktu yang lumayan untuk mencapai tujuan, apalagi beberapa titik terkenal rawan macet pada pagi hari, misalnya Pasar Colombo Jl Kaliurang, dan persimpangan-persimpangan jalan dengan Ring Road Utara. Untuk menyingkat waktu, saya selalu mencoba melewati jalan-jalan alternatif melewati daerah permukiman di sebelah timur Jalan Kaliurang, dan kemudian nanti keluar pada jalan utama di Ring road sebelah timur jalan Gejayan, sehingga terhindar dari beberapa titik kemacetan. Meskipun demikian, masih ada satu titik rawan macet yang harus dilewati, yaitu perempatan UPN dan depan pintu masuk sekolah yang seringkali menyebabkan kemacetan sepanjang jalan Seturan. Bagaimana tidak, jalanan dipenuhi dengan deretan orang tua yang mengantar anaknya dengan mobil pribadi, apalagi pada saat-saat mepet waktu masuk, kemacetan makin menjadi-jadi. Untungnya saya sering mengantar anak dengan motor, sehingga dapat masuk lewat pintu belakang sekolah, yang searah bagi mobil, sehingga lebih cepat tanpa macet.
Nah, dalam perjalanan melewati 'halaman belakang' tersebut, saya seringkali menemukan hal-hal yang menarik, terkait dengan perkembangan kota dan fungsi lahan. Umum diketahui bahwa lahan sawah tradisional yang diusuhakan petani di banyak wilayah di Indonesia terus menyusut karena berubahnya fungsi lahan, terutama ke lahan budidaya. Pola-pola tersebut terjadi pula di Yogyakarta, terutama Sleman tempat penulis tinggal. Dengan kasat mata dengan mudah dapat dilihat lahan-lahan yang semula merupakan lahan hijau, baik kebun maupun sawah, sedikit demi sedikit berubah menjadi tempat tinggal, perumahan, maupun ruko dan rukan. Berita dari Kompas tahun 2011 menyebutkan, bahwa terjadi penyusutan sebesar 169 ha dalam dua tahun terakhir. Kondisi tersebut diindikasikan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Namun demikian, ada yang menyejukkan ketika setiap pagi saya melewati kawasan yang masih hijau, penuh dengan tetumbuhan padi dan tanaman lainnya. Wilayah Sleman memang terkenal karena kesuburannya, karena sumber air yang melimpah serta tanah yang subur karena dekat dengan Merapi. Kesuburan tersebut juga masih terlihat hingga mendekati kawasan yang penuh dengan hiruk pikuk kegiatan manusia, misalnya yang dapat ditemui pada kawasan tepi Jalan Ring Road Utara yang berdekatan dengan Markas Polda DIY. Di belakang wilayah yang sangat kota tersebut, ternyata masih ditemukan lahan sawah, lengkap dengan irigasi yang mengairinya. Kita dapat menyimaknya dalam beberapa foto berikut:
[caption id="attachment_377002" align="aligncenter" width="300" caption="Padi yang mulai menguning, sumber: dokpri"][/caption]
[caption id="attachment_377003" align="aligncenter" width="300" caption="Irigasi dengan air yang mengalir jernih, sumber: dokpri"]
[/caption]
[caption id="attachment_377004" align="aligncenter" width="300" caption="Sawah menguning di tepi perumahan"]
[/caption]
[caption id="attachment_377005" align="aligncenter" width="300" caption="Sepelemparan dari Mapolda DIY di pinggir Ring Road Utara (gedung kuning), sumber: dokpri"]
[/caption]
Memang tidak ada yang tahu sampai kapan keberadaan sawah-sawah itu dapat dijamin. Pemilik lahan yang sebagian besar petani gurem itu tentu tidak pernah benar-benar rela tanahnya beralih kepemilikan dan fungsi ke orang lain, yang mungkin belum pernah dikenalnya. Namun kebutuhan hidup yang semakin tinggi, yang tidak diimbangi dengan produktifitas lahan yang semakin meningkat, ditambah lagi dengan suply infrastruktur yang semakin terbatas, misalnya saluran irigasi yang tidak berfungsi baik, akhirnya mendorong mereka untuk menjual tanahnya. Apalagi saat ini, tanah di Yogya seperti emas yang harganya semakin melambung dari tahun ke tahun. Banyak para pemburu tanah, baik untuk dirinya sendiri, namun terutama untuk diinvestasikan, yang saat ini sibuk berburu tanah di pinggiran kota, hingga ke perdesaan-perdesaan. Kita dapat mengeceknya di OLX.com, dengan mudah dapat dilihat seberapa banyak penawaran tanah di berbagai pelosok DIY.
Ya, bagaimanapun jaman memang berubah. Membuatnya berhenti tentu tidak mungkin. Maka semuanya hanya harus diterima dan dinikmati, terutama ketika dia masih ada dan kita masih bisa melihatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H