Putus cinta atau kehilangan seseorang/sesuatu yang kita sayangi biasanya menjadi sumber utama seseorang patah hati. Biasanya, orang yang patah hati merasakan nyeri di bagian dada. Namun, dilansir dari CNNIndonesia, rasa sakit ini ternyata memiliki dampak yang nyata terhadap tubuh, seperti penelitian yang dilakukan di Harvard University Medical School mengatakan bahwa sindrom patah hati ini bisa berujung pada kematian mendadak.
Sindrom patah hati atau yang biasa dikenal juga dengan sebutan takotsubo kardiomyopati merupakan keadaan dimana fungsi jantung seseorang menurun secara drastis dikarenakan tekanan emosional yang dialami. Sindrom patah hati ini telah ditemukan sejak tahun 1990. Namun, belum diketahui jelas apa penyebabnya.
Menurut Nicole Harkin selaku kardiologis dan asisten profesor klinis New York University, keadaan dimana fungsi jantung seseorang menurun secara drastis tidak benar-benar diketahui mengapa bisa terjadi, namun diprediksi sindrom patah hati ini terjadi dan dapat mempengaruhi kenaikan hormon katekolamin (hormon yang menanggapi stres) yang bersifat mendadak.
Ketika hormon katekolamin meningkat dengan tiba-tiba, saat itu juga ventrikel (bilik) kiri menjadi melemah. Jika bilik atau ventrikel kiri melemah, peredaran darah ke seluruh tubuh juga akan melemah.
Selain itu, sindrom patah hati ini hampir sama dengan gangguan gejala serangan jantung, termasuk juga ketika kita patah hati pasti merasakan rasa nyeri di dada dan napas yang pendek. Hal ini yang membuat sindrom patah hati sulit untuk diprediksi.
Bedanya dengan gejala serangan jantung, pada sindrom patah hati ini tidak ditemukan penyumbatan pada arteri koroner (arteri yang memasok nutrisi dan oksigen ke otot jantung).
Seperti yang dijelaskan di atas, sindrom patah hati ini biasanya disebabkan karena berbagai hal, yaitu misalnya kehilangan orang yang tersayang, pertengkaran, hingga bencana alam yang menghabiskan keluarga atau barang berharga.
Namun, ada golongan pribadi tertentu yang paling sering menderita sindrom patah hati ini, yaitu perempuan dan orang tua. Menurut data dari Harvard University Medical School, sebesar 90 persen sindrom patah hati ini dialami oleh perempuan yang berusia 58 sampai 75 tahun. Selain itu, sebanyak 5 persen perempuan yang berada di rumah sakit setelah mengalami serangan jantung juga mengidap sindrom patah hati ini.
Namun ternyata, pada kebanyakan kasus, penderita sindrom patah hati ini biasaya sembuh dengan sendirinya. Hal ini membuat jantung mereka kembali ke kondisi normal hanya dalam beberapa minggu.
Tetapi, ada juga kasus yang parah. Sindrom patah hati ini bisa menyebabkan kematian yang mendadak, serta 20 persen di antaranya membuat penderita mengalami gagal jantung.
Mari jaga kesehatan psikologis diri kita agar tidak mengalami sindrom patah hati ini. Jaga juga kesehatan tubuh kita agar tidak mudah stres yang dapat menimbulkan dampak negatif untuk tubuh dikemudian hari.