Pasca banjir di NTT, para korban pun mulai berbenah. Masyarakat mulai menata kembali barang-barang yang masih bisa digunakan. Perabot rumah yang masih bisa gigunakan, dibersihkan untuk dipakai.
Memang musibah banjir meninggalkan duka yang mendalam. Ratusan nyawa manusia melayang. Hewan peliharaan hanyut dibawa banjir. Tanaman pertanian pun terancam gagal panen. Sudah bisa dipastikan akan terjadi kelaparan.
Kita belum selesai memerangi covid-19, justru NTT dan beberapa daerah lain, disuguhkan lagi dengan musibah banjir. Hal ini semakin memperburuk keadaan di masyarakat.
Sisi lain
Di tegah upaya memerangi musibah banjir, saya justru melihat beberapa hal menarik untuk dijadikan pembelajaran.
1. Banjir mempersatukan kita. Respon pemerintah perlu diapresiasi. Presiden turun langsung ke tempat musibah, memberi bantuan tetapi juga meneguhkan masyarakat yang kehilangan keluarga dan tempat tinggal. Jokowi bahkan meneteskan air mata melihat kenyataan di lapangan.
Ibu Menteri Sosial Tri Rismaharini, bahkan menginap di lokasi bencana, tokoh berdialog dengan warga. Foto bu menteri dan para suster PRR di Flores, menceritakan banyak hal, termasuk di antaranya adalah tolerasi.
2. Ada gerakan dari berbagai kalangan untuk membantu para korban. Mereka mengumpulkan sembako, pakaian, obat--obatan dan perlengkapan lainnya untuk meringankan derita korban
Di kalangan Gereja pun sama. Uskup Atambua sendiri turun langsung memberi bantuan dan meneguhkan hati para korban. Setiap paroki wajib menunjukkan kepedulian dengan memberi bantuan.
Berdasarkan kisah dari teman--teman dan foto yang beredar di medsos, saya yakin para korban tidak akan kelaparan karena bantuan terus mengalir, dan juga bila digunakan secara bertanggung jawab.
Saya terharu menyaksikan teman-teman di Papua, rela turun ke jalan, mengumpulkan sumbangan untuk membantu para korban bencana. Saya juga membaca, upaya masyarakat di Bali, Jawa Tengah, dan daerah lain, semua bersatu, mengumpulkan sembako dan barang- barang lain untuk para korban bencana alam.