"Non ut discam vivo, sed ut vivam disceo" "Saya hidup bukan untuk belajar, melainkan saya belajar untuk hidup."
I. Realitas pendidikan kita
Dunia pendidikan menjadi sasaran empuk yang tidak pernah habis dibahas dan dikritik. Bertahun-tahun sektor pendidikan terus melakukan pembaharuan dan reformasi diri. Semuanya bermuara pada tujuan final yakni mencerdasakan kehidupan bangsa. Namanya sekolah kehidupan, tidak kenal istilah tamat, artinya sekolah sampai akhir hayat.
Reformasi di tubuh pendidikan yang terjadi dari saat ke saat mengindikasikan bahwa, bangsa kita seakan belum menemukan model pendidikan yang cocok dan ampuh.
Penemuan metode pendidikan yang sanggup menjawapi masalah pendidikan tentu bukanlah hal yang mudah mengingat, karakter bangsa yang prluralis, serta tingkat perkembangan setiap daerah tidak sama. Misalnya, penerapan standar kelulusan di pulau Jawa tentu berbeda dengan pulau-pulau lain di luar jawa, seperti Nusa Tenggara, Papua, Maluku.
Setiap menteri pendidikan yang berkuasa, selalu saja dengan metode dan programnya tersendiri. Selalu saja bebeda. Contoh konkret, pernah ada istilah "bongkar pasang kurikulum." Model kurikulum yang selalu berubah dari waktu ke waktu.
Jaman dulu kita kenal model Pembelajaran Taman siswa yang dicetuskan oleh; Ki Hadjar Dewantara, "Ing Ngarso Sung Tulodholng Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani" kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif, (SBSA), Kurikulum Tinhgkat Satuan Pendidikan, (KTSP), Kurikulum 2013, (K-13), hingga kini Kurikulum Merdeka Belajar yang di cetus oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.
Selain "bongkar pang kurikulum", hal lain yang menjadi sorotan adalah ketidakberesan penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar (KBM), profesionalitas dan kualitas tenaga pendidik atau pengajar, manajemen pendidikan yang amburadul dan pendanaan pendidikan belum memadai.
Fakta lain ditemukan bahwa, Tripusat pendidikan; orang tua, guru dan siswa, belum berperan maksimal. Kerja sama antara tripusat pendidikan belum maksimal.
Masalah utama yang sering diperdebatkan adalah tentang minimnya subsidi pemerintah hingga membuat dunia pendidikan harus sedikit bekerja ekstra. Konsekuensi logis dari situasi ini adalah adanya usaha untuk 'menyerap'dana dari pemasukan para (orang-tua) siswa.