Lihat ke Halaman Asli

Puslatbang KDOD LAN

Pusat Pelatihan dan Pengembangan dan Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Hardiknas, Momentum Pemberantasan Buta Aksara di Kaltim

Diperbarui: 2 Mei 2018   09:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi. (kompas.com)

Hari pendidikan nasional ditetapkan tanggal 2 Mei untuk memperingati hari kelahiran Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan tokoh pendidikan Indonesia, pendiri Taman Siswa, dan seorang pahlawan nasional yang digelari sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Momentum Hari Pendidikan Nasional harusnya menjadi refleksi. Apakah dunia pendidikan Indonesia sudah membaik dengan indikator menurunnya tingkat buta aksara, khususnya di Kaltim?

Konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan sebagaimana termaktub pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28C, bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan demi meningkatkan kualitas hidupnya. Namun, kini hampir 73 tahun Indonesia merdeka, nampaknya kualitas pendidikan Indonesia belum mampu menunjukkan peningkatan yang menggembirakan. 

Menurut data Unesco tahun 2017, di wilayah ASEAN saja, Indonesia berada di peringkat 5 dari 9 negara dalam hal peringkat pendidikannya. Sedangkan tahun 2016 berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud, penduduk Indonesia yang telah berhasil diberaksarakan mencapai 97,93 persen, atau tinggal sekitar 2,07 persen (3,4 juta orang). Data ini tentu merupakan hasil yang patut dibanggakan, namun tentu saja perlu kerja keras untuk mewujudkan Indonesia tanpa satupun warganya yang buta huruf.

Buta Aksara di Kaltim

Kalimantan Timur memiliki luas wilayah daratan 127.267,52 km2 dan luas pengelolaan laut 25.656 km2. Jumlah penduduk pada tahun 2017 adalah 3 575 449 Jiwa (BPS Kaltim). Dengan luas wilayah dan jumlah penduduk tersebut, tentu memiliki berbagai permasalahan. Salah satunya adalah pemerataan pembangunan di bidang pendidikan, khususnya masih adanya masyarakat yang tidak mendapatkan pendidikan atau buta huruf. Angka Melek Huruf (AMH) merupakan indikator untuk mengukur keterbukaan masyarakat terhadap pendidikan. 

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Timur pada bulan Maret 2016 telah melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) terhadap 5.240 rumah tangga yang tersebar di 10 kabupaten/kota. Hasil dari survei ini menunjukkan bahwa masih ada 1,18 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang masih buta huruf dan 98,82 persen penduduk usia tersebut sudah dapat membaca dan menulis atau melek huruf.

Hasil ini lebih baik daripada tahun 2015, dimana jumlah penduduk buta aksara mencapai 1,22 persen atau sekitar 25.750 orang. Namun, dengan jumlah ini, tentu masih banyak yang harus dibenahi agar penduduk buta huruf dapat ditekan lebih banyak, kalau bisa diberantas sampai tak bersisa. Istilahnya, dibumi-hanguskan. Agar sejalan jua dengan cita-cita luhur Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tantangan

Sekurang- kurangnya ada 3 tantangan yang harus dibenahi untuk mengurangi jumlah buta huruf di Kaltim. Pertama, kemiskinan. Tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kemiskinan menjadi faktor dan tantangan utama dalam memerangi angka buta huruf. Data BPS Kaltim bahwa pada tahun 2017, jumlah masyarakat miskin di Kaltim sebanyak lebih dari 211.240 jiwa dan tersebar di seluruh 10 Kabupaten/Kota. Kemiskinan berkaitan erat dengan munculnya kasus buta huruf. Kesulitan pemenuhan kebutuan sehari- hari menjadikan pendidikan menjadi prioritas nomor ke sekian.

Kedua, yaitu lokasi yang tidak terjangkau. Luasnya wilayah Kaltim ditambah lagi dengan akses jalan yang buruk, semakin menyulitkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Jalanan banyak yang ambles, menyebabkan terputusnya akses antar daerah. Belum lagi jika musim hujan, jalanan berlumpur menyulitkan untuk lewat. Ditambah lagi dengan kondisi jalan yang memang tidak baik, namun dilewati kendaraan bermuatan berat seperti sawit dan batu bara. Selain akses jalan, keterbatasan akses teknologi juga merupakan penyebab buta aksara.

Ketiga, kurangnya motivasi belajar. Motivasi yang muncul dari dalam diri untuk belajar berkurang atau Iyang tidak terjangkau. Karena kemiskinannya, mereka sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sehingga tidak ada lagi keinginan untuk belajar, dan semakin jauh menyeret dirinya pada ketidaktahuan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline