Lihat ke Halaman Asli

Etika Berlalu Lintas

Diperbarui: 28 Agustus 2015   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi, sumber: www.samishare.com"][/caption]

Seorang lelaki paruh baya terpaksa menunggu lama untuk menyeberangi jalan raya yang cukup padat lalu lintasnya. Tangannya terjaga menggeber gas sepeda motor butut yang dikendarainya. Beliau baru saja keluar dari gang sempit perumahan yang sudah puluhan tahun ia tinggali, berangkat menuju tempat kerja di pusat kota. Kota itu tidak sepadat Jakarta, masih tergolong kota yang sedang berkembang. Tetapi tetap saja arus lalu lintas padat di pagi dan sore hari sehingga jalanan sulit untuk diseberangi. Di lain pihak, badan jalan dijejali berbagai jenis kendaraan mulai dari yang tergolong mewah, sampai yang sekedar bisa "menunaikan" tugas mengantarkan si pengendara. Semuanya berlomba, salip-menyalip mengejar waktu yang tak pernah kompromi. Dengungan mesin kendaraan diiringi bunyi klakson sahut-menyahut memberi peringatan bagi siapa saja yang berada di depan agar memberi jalan, memanfaatkan celah kecil sekalipun.

Hampir lima menit pria paruh baya itu akhirnya menemukan celah untuk mulai menyeberang. Namun di lajur terakhir, sebuah mobil mewah menghalangi aksinya. Celah yang harusnya mudah dilewati sepeda motor, dipersempit hingga sangat mepet. Entah apa maksud si pengendara mobil yang dari penampilannya masih berusia belia. Saat itu persimpangan di depan sedang lampu merah, tidak ada peluang baginya untuk melaju jauh, tak lebih dari setengah meter. Dan itupun tidak dapat ia relakan untuk si pengendara sepeda motor butut. Adu pandang pun terjadi di antara keduanya, diikuti umpatan yang samar terdengar di tengah kebisingan lalu lintas. Seperti kisah sinetron yang mudah ditebak, drama jalanan itu berakhir dengan kemenangan sepeda motor. Bak liukan Ronaldinho ketika menerobos barisan bek lawan, pria paruh baya itu pun berhasil menyeberang, melanjutkan perjalanan, menjemput asa di tempat kerja.

Kisah di atas hanya sebagian gambaran perilaku masyarakat kita dalam berlalu lintas. Perangai dalam berkendara sudah lebih banyak dikendalikan ego masing-masing. Ini bukan lagi soal terburu-buru karena berpacu dengan waktu, tetapi lebih ke hakikat manusia yang mau menang sendiri. Jika anak muda yang mengendarai mobil tadi lebih bijak, harusnya ia mempersilahkan sepeda motor untuk menyeberang. Toh, di depan sedang lampu merah. Terhalangnya sepeda motor justru makin menambah kemacetan di titik itu, sebab kendaraan lain juga ikut terhalangi oleh sepeda motor. Sangat sering kita ogah mengalah di jalan raya, seolah kita kalah jika ada yang menyalip atau menyeberang di depan kita. Sebaliknya yang menyeberang atau menyalip pun sering kali merasa menang ketika berhasil membuat kendaraan lain mengalah dan memberi jalan. Ada istilah di jalanan: "Yang nyempil duluan bakal menang. Kendaraan lain bakal berhenti ketika kendaraan kita nyempil duluan. Maka terjadilah adu cepat juga adu nyali di jalanan.

Di negara-negara maju, pengendara tidak hanya mahir secara teknis dalam mengemudi. Kalau hal itu sih, masyarakat kita juga bisa, bahkan mungkin lebih mahir! Yang kurang dari kita mungkin etika dalam berlalu lintas. Jika sesuai aturan, lampu kuning masih dapat dilewati, maka di sini yang terjadi kendaraan melaju semakin kencang, mengeluarkan jurus zig zag, salip sana salip sini agar terhindar dari lampu merah. Berbeda halnya di negara yang budaya lalu lintasnya lebih baik, lampu kuning sebagai peringatan bahwa mereka harus memperlambat kendaraan karena lampu merah segera menyala. Implementasi yang tepat, sesuai dengan hakikat lampu kuning yang sering kita dengar sejak Sekolah Dasar: "Hati-Hati". Yang paling menggelikan, di persimpangan di negara kita, pengendara tidak menunggu lampu hijau untuk mulai berjalan, tetapi tepat ketika kendaraan di sisi/ruas sebelah mulai berhenti. Padahal dalam ilmu lalu lintas, ada yang disebut kondisi "all red", artinya lampu merah di semua mulut simpang, agar ada waktu bagi kendaraan sebelumnya untuk melewati persimpangan. Sehingga ketika lampu hijau menyala kondisi simpang sudah "steril" sehingga lebih aman bagi kendaraan lain untuk lewat (safety).

Dr.Bagus Riyono,MA., Dosen Psikologi UGM, dalam kuliah "Driving Psycology" membagikan pengalamannya mendapatkan driving license di Amerika. Berbeda halnya di Indonesia dimana pemohon mudah mendapatkan SIM "sehari jadi", di sana beliau sampai harus mengulang ujian mengemudi hingga tiga kali dalam rentang waktu 2 bulan! Kegagalan pada ujian pertama masih imbas dari kebiasaan di Indonesia: memacu kecepatan pada saat lampu kuning, klakson yang tidak perlu, dll. Meski secara aturan tidak salah, tetapi hal tersebut merupakan tabiat mengemudi yang buruk. Belajar dari pengalaman tersebut, pada ujian yang kedua beliau lebih berhati-hati dan sigap memperhatikan rambu lalu lintas. Namun, tanpa penjelasan yang gamblang, beliau kembali dinyatakan gagal. Semakin penasaran, beliau mengulang untuk ketiga kalinya. Hampir saja dinyatakan gagal lagi, akhirnya beliau dinyatakan lulus begitu petugas mengetahui sudah 3 kali ia mengikuti ujian praktek. Si petugas pun menyampaikan bahwa sebenarnya tidak ada yang salah dari caranya mengemudi. Secara teknik, beliau sudah masuk kategori mahir. Tetapi di negara itu, psikologi berkendara adalah hal yang sangat penting. Psikologi pengemudi harus dilatih, ditempa, agar mampu mengendalikan diri dengan baik ketika berlalu lintas. Rasa penasaran dan geregetan beliau karena harus mengulang hingga tiga kali, sebenarnya untuk membentuk psikologi berkendara yang baik, lebih sabar dan dewasa dalam bertindak di jalanan. Tidak heran jika masyarakat di sana sangat beretika dalam berlalu lintas.

Kembali ke negara yang kita cintai. Pengetahuan lalu lintas masyarakat kita mungkin tidak kalah dengan negara-negara maju. Proses mendapatkan SIM juga semakin diperketat, tidak semudah dulu saat istilah "SIM tembak" mengemuka. Namun itu semua tidaklah cukup. Berkendara juga harus beretika, saling menghargai dan membuat satu sama lain nyaman berlalu lintas. Jalan adalah fasilitas umum untuk kepentingan bersama, bukan tempat adu cepat apalagi adu nyali yang biasanya berujung perang mata, saling umpat, bahkan perkelahian yang tidak perlu terjadi. Jika manusia-manusia di belahan Barat sana bisa tertib dalam berlalu lintas, seharusnya kita yang berbudaya Timur dapat lebih santun dalam berkendara, sebagaimana keseharian kita di rumah, kantor, dan lingkungan yang menuntut sopan santun dalam berinteraksi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline