Lihat ke Halaman Asli

Prama dan Secangkir Kopi

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari sudah larut. Mataku bergelanyut pada setitik rendah dipelupuk malam. Namaku masih sama. Rona. Tak kusangka aku sudah mematung disni sejak sore tadi. Kemacetan Ibu kota seolah jadi alasan ampuh bagiku. Duduk bersama laptop dan sebatang rokok tanpa bertemu kata jemu. Pelayan di kedai kopi ini sepertinya sudah hapal waktu kehadiran dan kepulanganku. Serta secangkir Ijs Koffie Indotjina yang menjadi minuman wajib buatku. Entah sejak kapan aku mulai menyukai tempat ini. Dan entah sejak kapan aku terbius oleh tempat yang dulu terkesan mahal untukku.

Aku menghisap rokokku dalam dalam. Bukan keluh, aku hanya ingin berbagi hampaku disini. Perjalanan yang dulu tak pernah kubayangkan sedetikpun. Kini sudah genap lima tahun aku di hingar bingar Ibukota. Bahkan kini aku sudah tak meneteskan airmata ketika aku harus kembali kesini. Ketika kedua orang tuaku mengantar kepergianku. Mereka harta terindah yang aku punya. Ayah, Ibu, Adikku dan Prama.

Prama. Namanya mampu memelukku tanpa aku harus membayangkannya. Tanpa aku harus banyak berceritera. Dia ruangan kecil hatiku yang ada di sudut terdalam. Aku mengenalnya ditempat ini. Dia “Rona Gendhis Mahendra” begitu sapanya ssaat melihatku duduk di sudut kafe ini. “Saya Prama, saya melihat kamu di Taman Ismail Marzuki. Kamu bermain sangat apik sekali.” Dan saat itu aku hanya tersenyum. Selanjutnya hari hariku berisi namanya serta berjuta kegiatan bersamanya.

Kutatap ponselku dengan senyuman.

Sayang, aku di depan. Sabar ya… aku naik dulu

“Dasar bodoh. Kau memang tidak romantis. Hahhahahahahaa…”gumamku. Kuletakkan ponselku disamping kotak rokok. Kuseruput perlahan kopi dihadapanku. Kubiarkan dia tersenyum sambil duduk didepanku. Tangannya mengusap manis pipiku sambil berkata “sayang,,, aku kangen kamu” Aku biarkan dia menatapku dan aku hanya menatapnya dengan senyuman. “Aku sudah pesankan kamu teh tarik dingin. Kamu masih tidak suka kopi kan?” tanyaku memastikan. “Kamu tau yang terbaik” katanya. Aku dan Prama hanya saling pandang. Hanya saling berpegangan tangan. Hanya saling tatap. Kami sungguh asyik dengan cara kami saling menyayangi. Karena kami tahu, cinta punya bahasa sendiri untuk bisa sampai dihati. Bahkan saat kami tak berkata cinta sekalipun.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline