Lihat ke Halaman Asli

Kosasih Ali Abu Bakar

Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Penguatan Karakter

Memahami Permendikbudristek 46/23: Konteks dan Gambaran Umum (Bagian 1)

Diperbarui: 20 Agustus 2023   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri

Kemendikbudristek telah meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar 25, Permendikbudristek 23/46 tentang Pencegahan dan Penangan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Secara strategi kebijakan publik, sudah ada Nota Kesepahaman antara Kementerian dan 3 Lembaga Negara. 5 Kementerian tersebut adalah Kemendikbudristek, Kemendagri, KPPPA, Kemenag, Kemensos sedangkan 3 Lembaga Negara terdiri dari Komisi Nasional Disabilitas, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Komisi Perlindungan Anak. Dari Nota Kesepahaman dan akan ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antar lembaga tersebut guna mempercepat implementasi dari kebijakan ini.

Kebijakan Merdeka Belajar 25 ini sejalan dengan fakta dan data yang masih menunjukkan terjadinya dosa ini, Berdasarkan Asesmen Nasional Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2022 sebanyak 34,51% (1 dari 3) peserta didik berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9% (1 dari 4) peserta didik berpotensi mengalami hukuman fisik; dan 35,31% (1 dari 3) peserta didik berpotensi mengalami perundungan, dan 68% satuan pendidikan  perlu ditingkatkan nilai iklim kebhinekaannya. Belum lagi bicara dari lembaga lain atau berita-berita yang ada pada media.

Setelah paham akan konteksnya, maka kita harus mengetahui tujuan utama dari aturan ini. Tujuan utamanya adalah kolaborasi antara semua pemangku kepentingan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan sesuai dengan wewenang dari masing-masing (UU No. 23/2014). Sehingga, pemastian agar pemerintah daerah membentuk Satuan Tugas dan satuan pendidikan membentuk Tim Penanganan dan Pencegahan Kekerasan menjadi tujuan utama. Tanpa itu maka aturan ini tidak bisa berjalan dengan baik (isu ini kejadiannya dengan Permendikbud No. 82/2015, kurangnya sosialisasi dan pendampingan).

Sebelum mengulas lebih jauh, ada baiknya kita melihat struktur dan sistematika dari aturan ini. Aturan ini terdiri dari 12 bab dan 79 pasal. 

Bab I terdiri dari 5 bagian dengan 5 pasalnya menjelaskan tentang pengertian dan konteks adanya regulasi ini. Bab II terdiri dari 7 pasal (tanpa ada bagian) yang menjelaskan bentuk-bentuk kekerasan pada aturan ini. Bab III terdiri dari 4 bagian dengan 9 pasalnya menjelaskan tentang pencegahan dan penanganan kekerasan melalui penguatan tata kelola, edukasi dan sarpras pendukung. Bab IV terdiri dari 3 bagian dengan 12 pasalnya yang menjelaskan apa itu dan tugas serta fungsi dari TPPK dan Satgas serta sanksi anggota yang lalai. Bab V terdiri dari 6 bagian dengan 30 pasalnya menjelaskan tentang tata cara penanganan kekerasan, seperti mekanisme penerimaan laporan, pemeriksaan, rekomendasi, tinjut hasil pemeriksaan, dan pemulihan. Bab VI terdiri dari 1 pasal yang menjelaskan tentang hak korban, pelapor, saksi, dan terlapor. Bab VII terdiri dari 1 pasal yang menjelaskan tentang bentuk partisipasi masyarakat. Bab VIII terdiri dari 1 pasal menjelaskan tentang pengelolaan data kasus. Bab IX terdiri 1 pasal yang menjelaskan tentang apresiasi. Bab X terdiri 1 pasal yang menjelaskan penyusunan Juknis oleh Sesjen. Bab XI terdiri dari 1 pasal yang menjelaskan masalah pendanaan. Dan Bab XII terdiri dari 4 pasal untuk penutupan yang menggarisbawahi batas waktu pembentukan TPPK dan Satgas.

Jika melihat isi dari regulasi ini sudah cukup komprehensif dan detail. Sudah amat jelas konteksnya, bentuk-bentuk kekerasan yang dihadapi, tata cara pembentukan Satgas dan TPPK serta tupoksinya, materi-materi yang harus dikuasai anggota satgas dan pembagian peran antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, Satgas, TPPK, dan masyarakat. 

Setelah memahami struktur dan sistematika dari regulasi ini, maka kita akan lebih mudah memahami aturan ini. Prioritas utama dari aturan ini adalah pembentukan TPPK dan Satgas harus segera dilakukan (Bab IV), bahkan Juknis seharusnya segera ditetapkan karena ada batasan (Pasal 74 dan 76). Prioritas kedua, memberikan pemahaman kepada anggota TPPK dan Satgas yang menjadi materi inti regulasi ini (Bab II, Bab V, dan Bab VI). Prioritas ketiga, membangun sistem informasi data kekerasan. Prioritas keempat, pendampingan, monitoring dan evaluasi. Kegiatan yang dilakukan bisa melalui, pertama, koordinasi dan diseminasi proses dan mekanisme pembentukan TPPK dan Satgas yang sasarannya adalah pemerintah daerah dan satuan pendidikan (bisa secara luring maupun daring) dan kedua melalui diseminasi pemahaman akan tugas dari TPPK dan Satgas kepada mereka yang terpilih yang sasarannya adalah anggota Satgas dan TPPK (bisa secara daring dan luring).

Pada dasarnya kebijakan ini amat bisa diimplementasikan, karena sudah begitu jelas dan detail. Tidak hanya itu dukungan dari 5 K/L dan 3 lembaga tinggi negara seharusnya amat membantu dalam memberikan penguatan akan pentingnya implementasi aturan ini. Aturan ini juga telah memberikan fasilitasi kepada masyarakat agar berperan aktif. Kini, tinggal niat baik dari seluruh pemangku kepentingan untuk bisa mengimplementasikan aturan ini. Dalam ramgka menciptakan sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline