Lihat ke Halaman Asli

Kosasih Ali Abu Bakar

Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Penguatan Karakter

Penguatan Karakter Generasi Milenial dan Z Menuju Indonesia Maju

Diperbarui: 19 Desember 2022   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia saat ini sedang berbahagia dengan adanya bonus demografi, ketika penduduk usia produktif lebih banyak, 15-64 tahun, puncaknya pada tahun 2030. Bonus demografi itu sendiri akan menjadi bencana demografi bila mereka yang usia produktif tersebut dipersiapkan sejak dini secara hard-skill atau keterampilan dan soft-skill atau karakternya.

Perkembangan teknologi telah menghadirkan tantangan tersendiri dalam dunia kerja, seperti disrupsi yang menyebabkan tergantikannya pekerjaan manusia oleh mesin atau robot atau hilangnya suatu jenis pekerjaan dan timbulnya jenis yang baru.

Perubahan iklim dan geopolitik ke depannya juga akan semakin kompleks dan sulit diduga sehingga berdampak kepada tatanan global yang berdampak kepada hubungan antar bangsa.Berbabagai perubahan-perubahan sosio-kultural juga mengharuskan kesiapan semua pihak, khususnya pemerintah Indonesia untuk mempersiapkan penduduk usia produktif agar lebih agile, adaptif, dan kompetitif serta penguasaan teknologi, keterampilan hidup dan pekerjaan serta soft-skill agar bonus demografi tidak menjadi bencana demografi.

Bila mengacu kepada Sensus Penduduk oleh Badan Pusat Statistik 2020, 38,82% dari 270,2 juta jumlah penduduk Indonesia adalah generasi Z (8-23 tahun) dan post Z (0-7 tahun), terdapat sekitar 104,89 juta jiwa tersebut merupakan masa usia sekolah mulai jenjang pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Berdasarkan BPS 2021, sejumlah 45,215 juta jiwa sudah terlayani dari jenjang SD/sejenis sampai ke SMA/sejenis, sebesar 8,95 juta jiwa di Perguruan Tinggi dan untuk anak usia dini yang terlayani 8,19 juta jiwa.

Bisa dikatakan bahwa 45,21 juta orang pada jenjang SD/sejenis sampai SMA/sejenis adalah generasi Z dan post Z. Generasi ini adalah generasi yang melek teknologi, mereka yang sudah terbiasa dan paham dengan penggunaan media sosial sejak kecil.

Sering kali mereka juga dikatakan sebagai generasi the silent generation, generasi senyap dan generasi internet. Generasi yang multi-tasking, generasi yang bisa belajar dari kesalahan yang dilakukan, generasi mandiri dan punya inisiatif tinggi. Hal ini berdampak kepada metode pembelajaran yang menjadikan peserta didik sebagai objek akan menjadi tidak efektif lagi. Generasi ini lebih cocok bila dijadikan subjek atau pusat dalam pembelajaran dengan dilakukan pendampingan-pendampingan yang baik. Ketika menjadi pusat atau subjek pembelajaran maka mereka harus dipersiapkan menjadi active learning.

Penguatan karakter era Mas Menteri bertujuan pembentukan profil Pelajar Pancasila ini sendiri terdiri dari 6 dimensi, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, gotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif. Setiap dimensi ini bertujuan agak pelajar Indonesia menjadi religious dan percaya diri, bersikap terbuka dan inklusif, mampu berkolaborasi, dan mempunyai jiwa kompetitif dengan pemikiran yang kritis dan kreatif. 

Bila dicermati secara seksama, selain nilai-nilai Pancasila yang sudah dipahami bersama, maka terdapat juga penguasaan kompetensi abad 21 terhadap peserta didik kita, seperti kemampuan berpikir kritis, kreatifitas, komunikatif, dan kolaborasi.

Tidak hanya itu, Mas Menteri kemudian mencanangkan perang dengan intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual, selanjutnya disebut dengan tiga dosa. Hal ini disampaikan pada saat rapat kerja bersama dengan Komisi X DPR di Senayan (20/2/2020). Bahkan secara personal ia mengatakan bahwa ketiga dosa ini sama sekali tidak bisa diterima di dunia pendidikan. Pemilihan tiga dosa ini tentunya sudah berdasarkan pertimbangan yang bisa dipertanggungjawabkan. Upaya yang bisa dilakukan oleh Kemendikbudristek melalui upaya pencegahan dan penanganan dari 3 (tiga) dosa ini, hal ini sejalan dengan tugas dan fungsi dari Kemendikbudristek.

Perang terhadap intoleransi adalah perang terhadap sikap pembedaan, pengecualian, pembatasan, dan pemilihan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar kelompok sehingga berakibat kepada pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan atas dasar hak azasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan. Perlu disadari jika sikap intoleransi akan berpeluang menciptakan sikap eksklusif yang berpotensi tidak menghargai keberagaman. 

Sehingga mengganggap dirinya lebih baik dan selain kelompoknya dianggap lebih rendah dan itu menjadi pemikiran untuk berhak melakukan tindakan terorisme atas nama kepentingan kelompoknya. Sehingga dampak kerusakan yang terjadi menjadi amat besar dan masif baik jiwa dan materi, khususnya teror ketakutan. Hal yang menjadi catatan penting adalah bila sikap ini akan menghilangkan jiwa kompetitif dan sportifitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline