Lihat ke Halaman Asli

Kosasih Ali Abu Bakar

Analis Kebijakan Ahli Madya, Pusat Penguatan Karakter

Akankah RUU Sisdiknas Menjawab Tantangan Zaman: Landasan Dasar (Bag 1)

Diperbarui: 4 September 2022   07:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Baru-baru ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menyebarluaskan kepada publik untuk di uji coba Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Tentunya, hal yang ingin diketahui masyarakat secara umum adalah, bisakah perubahan dari UU Sisdiknas ini bisa menjawab tantangan pendidikan Indonesia di masa mendatang.

Walaupun dari sumber Kemendikbudristek sendiri menjelaskan jika perubahan UU Sisdiknas ini adalah sebagai upaya dalam mengintegrasikan aturan tentang pendidikan menjadi satu, tidak lagi terpisah-pisah. Sistem pendidikan di Indonesia dikatakan diatur dalam 3 undang-undanga, yaitu UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No. 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. Untuk menjawab tantangan zama ke depan, RUU disusun dengan lebih fleksibel dan tidak terlalu rinci sehingga sistem pendidikan kita tidak lagi terjebak ke dalam aturan yang mengunci akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi di masa mendatang, seperti 24 jam mengajar, bentuk/nomenklatur satuan pendidikan/pendidik/dan lainnya. Hal yang terpenting adalah semangat dari prinsip-prinsip Merdeka Belajar yang menekankan kualitas belajar mengajar dan ruang inovasi bisa terintegrasi dalam perubahannya.

Dasar pendidikan tentunya tidak akan berubah, yaitu berdasarkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.  Tidak ada perubahan mendasar, karena memang dasar pendidikan kita adalah keempat hal tersebut.

Untuk fungsi pendidikan nasional yang awalnya untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka usulan yang terbarunya adalah mengembangkan potensi pelajar dengan karakter Pancasila agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, berilmu dan bernalar kritis, berkebinekaan, bergotong royong, dan kreatif. Perubahan yang cukup signifikan dari fungsi adalah kejelasan dari fungsi atau kegunaan pendidikan kita yang ada dalam dimensi-dimensi profil Pelajar Pancasila. Dimensi profil Pelajar Pancasila sendiri dikatakan sebagai jawaban terhadap tantangan dan menjawab permasalahan pendidikan di masa mendatang.

Terkait dengan tujuan pendidikan nasional yang pada awalnya bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka dalam RUU dikatakan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membentuk masyarakat yang religius, menjunjung kebinekaan, demokratis dan bermartabat, memajukan peradaban, serta menyejahterakan umat manusia lahir dan batin. RUU terlihat tujuannya kemudian menambahkan dengan kata-kata "Mencerdaskan Kehidupan Bangasa", menyesuaikan dengan amanah dari Pembukaan UUD 1945. Sedangkan diksi lainnya hampir sama sesungguhnya dengan yang lama, walau untuk yang baru terlihat agak lebih detail sesungguhnya.

Hal yang berhubungan dengan prinsip-perinsip dalam penyelenggaraan pendidikan, terdapat beberapa hal yang cukup prinsip perubahannya. Istilah peserta didik diganti menjadi "pelajar". Kemudian prinsip-prinsip-prinsip yang diusulkan juga terlihat lebih mendasar, seperti berorientasi kepada pelajar, menjunjung tinggi nilai kebenaran ilmiah, demokratis, berkeadilan, inklusif, dan mendukung pembelajaran sepanjang hayat. Bila dilihat dari aturan sebelumnya, terdapat sebuah prinsip baru yang ditegaskan, yaitu prinsip pembelajaran berorientasi pada pelajar. Sedangkan prinsip-prinsip lainnya sebenarnya hanya ada pada perbedaan diksi saja. 

Namun, ada hal penting yang menurut saya perlu ditambahkan dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan, yaitu nilai kolaborasi yang tidak ada secara eksplisit. Prinsip ini cukup penting dengan semangat tripusat pendidikan yang selama ini digaung-gaungkan, sekaligus sebagai upaya menjadikan pendidikan sebagai tanggungjawab seluruh stakeholder bangsa ini.

Selanjutnya, bila pada regulasi yang lawas dikatakan dengan Hak dan Kewajiban, maka menyesuaikan dengan keputusan dari Mahkamah Konstitusi diganti dengan sebutan Tugas dan Wewenang terkait dengan lembaga negara. Pada UU Sisdiknas yang lama posisi untuk Hak dan Kewajiban didahului dengan Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam RUU Sisdiknas didahului dengan Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan Menteri, baru kemudian diikuti dengan Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, dan Masyarakat. Untuk Tugas dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah isinya sudah berupaya untuk menyelaraskan aturan-aturan yang ada. Kemudian ada tambahan Tugas dan Wewenang Menteri dalam melakukan penetapan kebijakan dan impelementasinya.

Terdapat hal yang menarik bila meihat isi dari Hak dan Kewajiban Warga Negara antara UU dan RUU yang baru, pada UU Sisdiknas saat ini semua warga negara punya hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan secara eksplisit menekankan kepada kondisi-konsisi eksklusivitas (bakat istimewa, daerah 3T, dsb) dari warga negara tersebut. Sedangkan pada RUU Sisdiknas yang baru, lebih menekankan kepada implementasi kebijakan terhadap warga negara yang "eksklusif" tadi (seperti mendapatkan beasiswa, pendidikan agama sesuai agamanya, bantuan biaya pendidikan, pindah ke satuan atau jalur pendidikan lain, dan kecepatan dan batas waktu pembelajaran).

Kemudian, terkait dengan Hak dan Kewajiban Orang Tua, Masyarakat, secara keselutuhan hampir sama isinya. Intinya adalah orang tua diwajibkan untuk mengawasi dan mendapatkan informasi perkembangan anaknya. Pada RUU yang baru Hak dan Kewajiban masyarakat selain beperan aktif, secara eksplisit disebutkan untuk menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, an/atau budaya untuk kepentingna masyarakat sesuai dengan dasar, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional. Masyarakat juga diharapkan ikut mendukung penyelenggaraan pendidikan.

Terkait dengan Wajib Belajar dijelaskan dalam RUU yang baru, bila sebelumnya 9 tahun, kelas I s.d. kelasa 9, maka yang terbaru terbagi menjadi 2, yaitu Wajib Belajar 10 tahun yang berlaku secara nasional, yaitu kelas pra sekolah dan kelas 1 -- kelas 9 serta Wajib Belajar Pendidikan Menengah, mencakul kelas 10 -- kelas 12 yang berlaku secara bertahap sesuai dengan kemampuan dari masing-masing daerah.  Berkenaan dengan pendanaan, pemerintah mendanai penyelenggaraan wajib belajar bagi semua satuan pendidikan (negeri maupun swasta) yang memenuhi persyaratan, untuk satuan pendidikan negeri walaupun tidak memungut biaya tapi masyarakat dapat berkontribusi secara sukarela tanpa paksaan. Untuk di luar wajib belajar, pemerintah mendanai wajib belajar pada satuan pendidikan negeri dan "dapat" memberikan bantuan kepada swasta, sedangkan pada satuan pendidikan negeri uang sekolah non wajib belajar ditetapkan sesuai dengan kamampuan ekonomi pelajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline