Lihat ke Halaman Asli

Fenomenologi Cinta dan Benci

Diperbarui: 25 November 2017   17:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Depositphotos.com

Selesai sudah proses pernikahan pasangan Bobi dan Kahiyang. Mata dan hati semua warga negara, entah melalui layar kaca, koran, majalah, maupun media sosial, menyaksikan dan turut merayakan indahnya mahligai cinta kedua mempelai muda. 

Perayaan ini menarik perhatian publik karena sepertinya terdapat dua pandangan yang berbeda menyikapi perhelatan tersebut. Di satu pihak, sebagian besar masyarakat warga memandang peristiwa ini sebagai perayaan kebersamaan, persatuan, kemajemukan, solidaritas, kesederhanaan. Namun di lain pihak, sebagaimana kita baca dan lihat di media massa dan media online, terkesan ada sebagian kecil yang diduga kurang apresiatif dengan perayaan tersebut. 

Kedua pandangan ini, walaupun tampak bertentangan satu sama lain, pada dasarnya menunjukkan bahwa cinta pada hakikatnya merupakan sebuah NILAI yang berada pada jantung kehidupan manusia. Dengan kata lain, cinta itu begitu bernilai bagi manusia, sehingga, di satu pihak, cinta begitu menarik sampai orang bisa memberikan segala-galanya untuk cinta. Akan tetapi, di lain pihak, betapa bernilainya cinta sampi orang bisa jatuh pada rasa benci karena tidak mendapatkan cinta yang sejati dari orang terdekat.

Secara filosofis, masalah cinta dan benci, mendapat perhatian serius dari filsuf fenomenologi Max Scheler. Dalam karyanya, The Nature of Sympathy Scheler secara khusus menganalisis cinta dan benci sebagai dua fenomenon sebagai bagian dari gerak rasa manusia. Kedua fenomen ini bagaikan dua sisi dari satu mata uang yang sama. 

Menurutnya, cinta merupakan tindakan manusia yang paling fundamental salami hid manusia. Cinta malahan disebut lebih asali daripada pengetahuan dan kehendak. Seluruh pengetahuan dan keinginan kita akan sesuatu berdasar pada cinta sebagai tindakan fundamental manusia. 

Lalu apa yang dimaksudkan dengan cinta?

Scheler membedakan cinta dari kebaikan bati dan sekedar sebuah perasaan. Cinta berbeda dengan kebaikan atau kemurahan hati karena dalam cinta kita tidak sekedar mencari obyek atau keuntungan material dari yang cintai. Lebih dari itu, dalam kebaikan hati orang menyadari ada sesuatu dalam diri orang yang dicintai sehingga berusaha melakukan sesuatu terhadap terhadapnya. 

Cinta juga berbeda dengan sekedar perasaan karena orang bisa menyatakan perasaannya terhadap obyek yang tidak cintai. Perasaan lebih bersifat pasif, reseptif, sedangkan cinta lebih merupakan sebuah spontanitas dan sebum gerakan batin seseorang terhadap yang dicintai. Perasaan bisa berubah dalam sekejap ketika cinta seseorang mulai luntur terhadap pasangannya. 

Menurut filsuf Jerman ini, hakikat cinta adalan sebuah keterarahan kepada nilai yang lebih tinggi. Ia mengatakan, "love sees something other in value, high or low, than that which the 'eye' of reason can discern" (NS 150). Dengan mengikuti pandangan filsuf Blaise Pascal, Scheler mengatakan orang yang dicintai merupakan alasan satu-satunya untuk mencintai karena "hati memiliki alasannya sendiri dimana akal budi itu sendiri tidak mengetahuinya." 

Sebagai seorang fenomenolog, Scheler beranggapan bahwa cinta tak lain adalah sebuah gerakan intensional yang berpindah menuju potensialitas nilai yang lebih tinggi dari obyek yang dicintai. Intensionalitas yang dimaksudkan di sini, dalam pemahaman fenomenologi, tak lain adalah kesadaran akan sesuatu daripada kesadaran itu sendiri.

Lalu apakah yang dimaksudkan dengan rasa benci? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline