Lihat ke Halaman Asli

Dwiki Achmad Thoriq

Penulis Paruh Waktu

Sebuah Rasa yang Tak Turut Terasa

Diperbarui: 23 September 2023   07:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Roman. Sumber ilustrasi: pixabay.com/qrzt

Kehidupan adalah suatu khazanah yang menjadi tempat dan waktu seseorang saat menjadi manusia. Kita mampu bernafas, berbicara, dan berpikir adalah suatu pertanda dari kehidupan. Akan tetapi, hidup tak terbatas pada kemampuan tersebut. Ada unsur yang membentuk suatu arti kehidupan. Cinta, kasih sayang, dan kepedulian adalah suatu tiang pancang dalam kehidupan. Hidup tanpa cinta bagaikan panas tanpa hujan.

Cinta memiliki berbagai macam wujud, seperti cinta kepada teman, orang tua, maupun kekasih. Meskipun tak sekadar contoh-contoh tersebut, memang tak bisa dimungkiri bahwa cinta muncul dari berbagai wujud dan cara. Ada cinta yang romantis, hingga hingga cinta yang tragis. Tak selalu berawal dari dua arah, terkadang bisa dua arah.

Saya, sebagai penulis artikel ini merasa bahwa cinta tak hanya melengkapi kehidupan, tetapi juga menghilangkan sesuatu dari kehidupan. Tak hanya membuat seseorang merasa berarti, tetapi juga membuat seseorang merasa tak berarti. Hal tersebut tergantung dari bagaimana cinta itu berjalan. Akan tetapi, proses dan hasil terkadang tidak selalu berbanding lurus.

Proses yang menyenangkan tak selalu melahirkan cinta yang menyenangkan. Proses yang memilukan yang selalu melahirkan cinta yang memilukan. Memang cinta itu tidak bisa ditebak, bahkan rumus cinta pun–menurut saya–bisa lebih rumit daripada rumus matematika murni yang pernah saya dapatkan semasa sekolah. Meskipun kini saya tak lagi menggeluti matematika, saya masih bisa merasakan kerumitan tersebut.

Pertama kali merasakan cinta adalah suatu fase yang semua orang alami, tak terkecuali saya sendiri. Rasa suka yang menyebabkan satu orang menjadi pusat perhatian ataupun prioritas terhadap diri saya sudah saya alami sejak saya duduk di bangku TK. Akan tetapi, di masa itu belum ada cinta yang begitu berarti. Cinta anak kecil tatkala itu hanyalah rasa kagum yang menyebabkan seseorang bertingkah di luar nalar. Namun untungnya, tidak ada dampak psikologis yang signifikan kala iku.

Ketika saya sudah mengerti arti cinta, tak sedikit terukir rasa sesal dan bersyukur yang menghuni jiwa. Saya bersyukur kepada cinta karena cinta membuat hidup terasa berwarna dan mengisyaratkan bahwa keharmonisan adalah kunci dari tulusnya kehidupan. Hanya saja, rasa sesal terhadap cinta sudah pasti ada ketika kebahagiaan dalam cinta tak lagi ada bersama saya.

Rasa sesal itu lebih dari sebatas putus cinta. Ada juga kisah cinta yang toxic, sehingga menjalaninya menyebabkan love-hate relationship. Mengakhirinya menyebabkan dilema karena apabila dilepaskan, masih tersimpan sejuta kenangan manis, dan apabila dipertahankan, hanya akan menabung rasa sakit dan masa-masa sulit.

Dalam pengalaman saya, ada 7 (tujuh) wanita yang pernah menghuni hati saya. Kasus friendzone telah membuat saya terlatih dan terbiasa karena banyak hikmah yang dapat saya petik melalui komunikasi yang masih berlanjut. Namun, terkadang alur cerita tak selalu berakhir seperti yang diharapkan. Terlebih lagi, fase asing dan saling mengurusi kehidupan masing-masing tak bisa dimungkiri. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu peristiwa yang mengubah cara pandang masing-masing individu.

Ketika seseorang mengungkapkan perasaannya terhadap orang yang mereka cintai, akan ada perubahan dalam cara mereka melihat satu sama lain. Bisa jadi satu pihak merasa bersyukur karena rasa yang terpendam akhirnya terungkap. Bisa jadi satu pihak merasa bersalah karena tidak memiliki perasaan yang sama untuk saling memberikan feedback (timbal balik). Hingga paling parahnya, ada pihak yang merasa tak peduli karena merasa kejujuran lebih penting daripada perasaan orang lain.

Perlahan cinta menguatkan seseorang melalui cerita yang manis ataupun pahit. Namun, trauma karena kisah cinta dapat dengan mudah juga untuk terjadi. Ibaratkan sebuah kopi, kenikmatan tak selalu diperoleh dari kemanisan, tetapi juga kepahitan. Pahit dan manisnya kopi seolah menggambarkan keseimbangan yang ada dalam sebuah cinta untuk merangkai hiup seseorang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline