Lihat ke Halaman Asli

Corry LauraJunita

Tsundoku-Cat Slave

Pengalaman Bersalin di IGD pada Masa Pandemi (A Tribute to BPJS)

Diperbarui: 24 April 2021   16:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Peserta BPJS Nasional (Sumber : Harian Nasional)

Dua hari terakhir ini timeline twitter saya ramai dengan pembahasan BPJS dan perbandingannya dengan sistem healthcare di US. Hal ini awalnya dipicu oleh sebuah promosi program patungan Kitabisa yang bernama Saling Jaga. Seorang warga twitter merasa lebih memilih membayar 10 ribu dibandingkan iuran 100 ribu setiap bulannya. Kicauannya ini membuat netizen lain bereaksi dan memberikan testimoni betapa terbantunya mereka dengan adanya BPJS. Hal ini mengingatkan saya kembali dengan pengalaman melahirkan saya di IGD. Kejadian ini dianggap sebagai kasus darurat dan dicover seluruhnya oleh BPJS. Draft tulisan mengenai masa kehamilan dan melahirkan kembali saya buka dan saya merenung alangkah beruntungnya saya dan keluarga memiliki BPJS.

Masa hamil pada setiap wanita tentu mengalami tantangan masing-masing. Beberapa mengalami kehamilan yang relatif mudah, dan ada yang berbulan-bulan harus bed rest karena komplikasi. Saya mungkin mengalami kondisi di antaranya. Secara umum, saya tidak merasakan mual, pusing, atau lemas seperti yang beberapa teman saya alami, tetapi suatu pagi saat kandungan saya 6 minggu, saya terbangun dan menyadari ada flek di pakaian dalam. 

Saya termasuk yang sadar sudah hamil meskipun hasil testpack masih negatif, dan langsung memeriksakan diri ke bidan di puskesmas di Yogyakarta setelah menstruasi telat satu minggu. Hanya seminggu setelah pemeriksaan tersebut, saya memutuskan untuk pulang ke tempat suami di Tangerang, karena kampus menerapkan metode belajar online. Penyebab flek bisa banyak faktor, mungkin karena kelelahan, atau hormonal. Saat itu saya diberi obat penguat kandungan, dan total bedrest. Seminggu setelah flek pertama, saya kembali mengalami flek yang kontraksi dan perdarahannya lebih banyak. Jika pada flek pertama tidak ada rasa nyeri, flek kedua rasanya sering kontraksi, terutama jika saya bergerak, sehingga hampir sepanjang hari saya hanya berbaring kecuali untuk ke toilet.

Covid-19 menyebabkan pilihan saya untuk memeriksakan kandungan terbatas. Saat flek pertama, kami hanya mencari dokter kandungan seadanya yang buka. Di masa awal Covid-19, hampir semua praktek mandiri tutup, poliklinik di RS umum juga tutup karena sudah sore, sehingga kami ke RS Swasta dengan dua tipe rumah sakit, "internasional dan umum". RS tipe internasionalnya tersebut tidak melayani BPJS dan selain itu, kami memang tidak memikirkan hal tersebut, yang penting bisa tertangani. Periksa ke spesialis di RS Swasta tanpa jaminan apa-apa, tentu biayanya lumayan berat. Flek kedua dan pemeriksaan seterusnya, kami ke RS Swasta yang sama tetapi ke bagian RS Umum, meskipun RS Umumnya menerima BPJS, saya tetap periksa tanpa memanfaatkan kartu saya. Alasannya adalah, selain faskes pertama saya ada di Yogyakarta, pemeriksaan seterusnya merupakan kontrol rutin. Biayanya meskipun tidak sebesar di RS tipe satunya tetapi tetap mahal jika dibandingkan pemeriksaan di RS pemerintah apalagi di puskesmas

Mungkin ada yang akan bertanya kenapa kami tidak cek di puskesmas saja jika hanya kontrol rutin. Alasannya lagi-lagi Covid-19 membuat segalanya tidak menentu bagi kami. Beberapa kali puskesmas di dekat rumah terpaksa menghentikan pelayanan karena ada staf yang positif, belum lagi membayangkan di puskesmas akan banyak orang berkumpul dengan berbagai kondisi. Hal ini membuat kami merasa tidak apa-apa mengeluarkan uang lebih demi kondisi yang lebih aman. Selain biaya pemeriksaan rutin, kami juga dikenakan tagihan untuk mengganti APD yang digunakan oleh tenaga medis. Biaya pemeriksaan rutin memberikan gambaran bagi kami kira-kira berapa biaya melahirkan secara per vaginam atau caecar yang harus kami siapkan. Selain persalinan, biaya lain yang akan ditambahkan adalah biaya tes antigen dan CT Thorax.

Prosedur untuk melahirkan baik secara normal atau gawat darurat kami pelajari karena pasien dan pendamping diharuskan test antigen sebelum memperoleh pelayanan medis. Berbagai skenario kami bicarakan dengan dokter kandungan. Ternyata, pada hari HPL, dokter saya masih ada kegiatan berupa pelatihan di RS lain. Otomatis ada skenario tambahan yaitu pasrah pada dokter siapapun yang sedang jaga jika proses persalinan terjadi pada pagi-siang hari.

Semakin mendekati minggu-minggu akhir trimester ketiga, pemeriksaan pun semakin intensif. Kontraksi harus selalu dihitung jaraknya untuk membedakan dengan kontraksi palsu. Lagi-lagi supaya sempat melakukan test dulu. Test yang harus dilakukan adalah tes antigen dan CT Thorax yang cukup memakan waktu. Kejutan yang cukup membuat kami galau, ternyata pada minggu ke-38, janin belum masuk panggul. Saya yang berharap persalinan secara pervaginam tentu merasa down dan sedih. Dokter menyarankan untuk menjadwalkan persalinan secara caecar, karena perkiraan ukuran bayi sudah akan terlalu besar jika menunggu HPL. Kami yang merasa belum siap meminta waktu hingga pemeriksaan berikutnya karena masih ada waktu hingga minggu ke 39.

Tidak disangka, saat usia kandungan persis 39 minggu, saat terbangun sekitar pukul 4.30 pagi, saya mendapati flek di pakaian saya. Saat menenangkan diri, samar-samar saya merasakan kontraksi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya yaitu menjalar dari punggung ke perut. Segera saya mengukur jarak antara kontraksi dengan aplikasi yang ada di hp saya. Berdasarkan penjelasan dokter dan teman-teman yang sudah pengalaman, waktunya memutuskan ke faskes adalah saat kontraksi teratur 5-1-1 yaitu setiap 5 menit, ada 1 kontrkasi, yang berlangsung selama 1 jam. Saat diam dan mengamati kontraksi tersebut, kontraksi 5-1-1 hanya terasa sekitar 20 menit pertama, sisanya jarak antar kontraksi semakin dekat.

Saya yang kebingungan langsung membangunkan suami, dan mengajak ke RS. Awalnya suami mencecar apakah sudah yakin dengan jarak kontraksinya, apakah tidak menunggu poliklinik buka, dan sebagainya. Saya yang sedang gugup meyakinkan bahwa ini agak aneh, dan mengajak ke RS segera. Jika memang waktunya masih lama, ya sudah menunggu di RS saja sambil test antigen dan CT thorax. Karena poli kandungan belum buka, akhirnya kami menuju IGD. Saat di IGD, staf medis yang menyambut masih santai, karena saya tidak terlihat kesakitan. Memang, kontraksi yang saya rasakan menurut saya tidak begitu sakit. Waktu itu saya hanya merasakan nyeri seperti menstruasi tiap bulannya. Saat diperiksa oleh bidan, saya menyampaikan kondisi terakhir saya yaitu janin belum masuk panggul. 

Untuk memastikan, bidan melakukan pemeriksaan. Hasilnya, bayi sudah masuk panggul dan sudah pembukaan ke-2. Dokter kandungan dihubungi dan menyatakan akan menangani sendiri persalinan saya. Mereka memperkirakan bahwa saya baru melahirkan sore hari sehingga beliau masih sempat ikut pelatihan. Namun, ternyata bidan tersebut sedikit ragu dengan pembukaan yang sudah dia periksa, sehingga memanggil rekannya dan melakukan pemeriksaan ulang. Ternyata sudah pembukaan 4 ke 5, dalam waktu 30 menit. Hal ini membuat bidannya kaget, sehingga saya langsung dipindahkan ke IGD maternal. Saya dan suami segera dimintai persetujuan untuk CT Thorax karena akan ada paparan sinar radiologi terhadap janin meskipun jumlahnya sudah diminimalisir. Meskipun khawatir, kami akhirnya memberikan persetujuan.

Setelah kami setuju, saya segera diambil darah untuk cek antigen, dan dipersiapkan untuk cek thorax. Untuk itu kembali dilakukan pemeriksaan pembukaan karena perlu dipindahkan ke ruang radiologi. Hasilnya sudah pembukaan 6. Mendapati hal tersebut, bidan menghubungi kembali dokter kandungan yang juga terkejut dengan cepatnya proses pembukaan yang saya alami, terutama dengan minimnya rasa nyeri yang saya rasakan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline