Pendahuluan
"Lebih jauh lagi, ruang politik tiba-tiba seperti bergerak meluas dan mendalam. Normalitas kehidupan sehari-hari yang berjalan ajek, aktivitas ekonomi yang berjalan rutin, seketika terkerucutkan ke dalam dimensi politik. Kita mulai waswas, mulai bergunjing sana-sini di ruang makan keluarga maupun di ruang medsos, mulai mengamati sikap serta pilihan politik orang-orang di sekitar kita."[1]
Pilihan politik adalah hal yang patut diterima sebagai buah dari kehidupan berdemokrasi. Namun dilematis, apabila kehidupan secara aktual dipersempit jika seseorang dinilai dari pilihan politiknya. Jika hal tersebut dimaknai sebagai ancaman, tindakan diskriminatif dapat merongrong ranah publik dan privat, menyerang secara mental maupun fisik. Gejala seperti ini mampu membutakan realitas pluralitas di dalam masyarakat. Padahal, melalui pluralitas di masyarakat, dapat tumbuh kesempatan untuk saling mencecap dan belajar agar mampu memperkaya khazanah kehidupan. Pertanyaannya, mengapa penyempitan normalitas kehidupan ke dalam dimensi politik dapat terjadi?
Determinasi Sekat
Jajak pendapat oleh Litbang Kompas[2] pada 15-17 Januari 2024, merekam, ihwal perhatian akan aksi ancaman sampai kekerasan terhadap sejumlah pendukung parpol atau relawan pasangan capres-cawapres Pemilu 2024. Dari hasil wawancara terhadap 510 respoden dari 34 provinisi, lebih dari 70 persennya menemukan konten pemberitaan terkait tindak kekerasan (pemukulan, pengeroyokan, dan lain sebagainya) kepada para pendukung salah satu capres. Sebanyak 47,9 persen responden menemukannya melalui media sosial. Sedangkan melalui televisi dan cerita orang lain (keluarga, teman, dsb.), masing-masing 17,8 persen dan 8,0 persen responden.
Adanya pembelahan sosial dan menguatnya kubu-kubu politik berpotensi dalam pemilu tahun ini. [3] Forum-forum debat capres tahun ini, secara visual, mempertontonkan kekerasan verbal. Para capres saling mengomentari maupun menyanggah pernyataan. Hal berikut merupakan wujud kampanye hitam, tentu dengan tujuan merendahkan lawan politiknya dan menaikkan statistik elektabilitas.[4] Masyarakat pun riskan terjebak pada sekat-sekat ungkapan, yang lantas memunculkan penglihatan serta penilaian sengit dan dangkal terhadap rekan maupun keluarga tentang pilihan politiknya. Penilaian baik yang prematur dan mendewakan pasangan tertentu, dapat menyingkirkan cakrawala "perbedaan politik" dengan membantai secara verbal mereka yang tidak satu suara. Kemunculan fenomena tersebut mampu menyempitkan ruang dialogis-objektif tentang arah kebijaksanaan dan kebijakan setiap pasangan/calon.