Luke duduk di atas lantai putih keabu-abuan, tepat di belakang meja belajarnya yang berantakan. Dalam benaknya, hidup adalah tragedi. Tawa adalah tragedi. Sedih juga. Meja belajarnya itu pun ekeses dari tragedi. Dan segala 'pertanyaan' adalah jawaban dari segala tragedi yang terjadi.
Dua bulan setelah diasingkan dari sekol ah yang salah satunya mengajarkan dirinya untuk menghidupi sikap lepas bebas, berakhirlah Luke di rumahnya dengan mental babu yang bernapas dan berontak dalam relung batinnya. Kala itu malam terbatas, tertutup bentangan tembok sempit -- di ruang sepi penuh mahkluk penghisap darah yang terbang ke sana ke mari berdengung -- tulisan alumnus mahasiswa filsafat menemani jiwanya yang sepi itu. Tulisan itu berbunyi analisis serta kritik Sjahrir terhadap fasisme. Ia senang dan tenang menerima secara rasional dan emosional argumen Sjahrir meski ia merasa dongkol; ia berasumsi pikiran logisnya tak bekerja. Tapi, Luke senang otaknya dibakar oleh kajian itu. Beberapa belahan dari pemikiran penulis tentang Sjahrir tak lepas dari sanggahan dan pertanyaan yang bersuara di kertas bergaris leceknya. Kertas itu bagaikan pembatas jejak pikirannya. Namun karena kelebihan muatan, tulisannya membanjiri teks kajian itu -- mungkin orang lain akan senep melihatnya. Tapi lebih lagi, ia merasa sepadan dengan pemikiran Sjahrir. Sepadan itu dirasakannya karena Luke merasa konstruksi fasisme yang disusupi oleh tesisnya Sjahrir, telah berurat akar di dalam diri kedua orang tuanya. Ia merasa sepadan karena inti permenungannya pas tergambar melalui pola hidup yang tempo ini dijalaninya bersama mereka dengan beribu rasa tak karuan. Ia dipakai lebih sebagai budak dan bukan anak -- sebagai budak yang harus menanggung keputusannya sendiri dan berutang moral dengan orang tuanya. Malam itu ia bangga dan takjub karena 'ditemani' oleh gagasan itu.
Esok petangnya, kala mengayuh sepeda Diamond ungunya di wilayah persemayaman para elit kapitalis dan prajuritnya yang mengaku secara implisit eksponen kapitalis, ia memuntahkan isi pikirinnya "Mungkinkah ini karma karena aku kembali dari 'sekolah' itu? Aku terpenjara. Lihat saja! Kebanyakan keputusan mereka terlampau drastis memaksaku. Apa saja itu, terpaksa." Luke kembali sangsi dengan 'pertemanannya' dengan akal pikiran Sjahrir itu. Luke paham bahwa segmen-segmen kenyamanan tetap dibuahi oleh mereka, tetap saja, kenyamanan itu menguap dan menghangatkannya karena dihantarkan oleh medium yaitu perintah. "Memberi kebahagiaan seperti mandat tempur! Saya ini apa emang? Kadet?" Tapi dalam kontradiksi hidupnya, ia senang menawarkan dirinya bagi orang lain. Bahkan, masuk organisasi kemanusiaan nirlaba, membantu yang terlantar, dan mati di negara lain dalam upaya penyelamatan ribuan pengungsi tidak pernah abstain dari kontestasi pikirannya. Sense of mission dirinya kuat sampai-sampai ia membayangkan hidup di kontrakan kecil dengan buku yang berlimpah meski gajinya di bawah UMR guru negeri atau sipendium uskup pasca-ekaristi. Mati muda pun adalah cita-citanya. Pandanglah itu! Di galaksi imajinya sehari-hari tidak pernah tidak merdeka, tapi dalam realitanya ia dijebloskan ke penjara fasis berbasis feodalis itu. Angin literasi semalam berhentik, mentok di pikiran dan hatinya. Dalam hatinya yang berstatus dendam, "Bagaimanapun akal akan kalah dengan moral yang terselubung emosi! Orang tuaku selalu menang dalam urusan 'menggurui'-ku.." Runyam sudah mimpi dan kehendaknya. Sayang, sekali lagi ia selalu menegasikan boroknya moral orang tuanya itu di pikiran dan hatinya. Tapi, soal speak up, ia memilih bengong.
Saat ia kembali dari kayuhan yang tak terhitung itu, secara otomatis, ia menyerap melalui telinganya perintah yang terkamuflase dalam rayuan manja ibunya. "Dek, tolong belikan roti meses sama YouC 1000 yang dingin, yang di botol kaca," suara ibunya dari dalam kamar yang tengah rebahan selepas pulang kerja. Sejenak, tempo kini ia harus lebih sadar bahwa perlu ada pembenahan sikap dan tindakan terhadap perintah orang tuanya. Tidak boleh dikritisi tapi harus disetujui. Tidak boleh memproduksi nada tinggi melainkan lembut atau setidak-tidaknya jika ia sedang naik pitam, tidak perlu bersuara -- cukup mengangguk dan mengatakan "iya". Luke sadar bahwa melawan akan menjerumuskan dirinya kembali jauh ke lubang hitam kemarahan dan cuitan emosional. Kalau perlu conscionous itu disadarinya selalu sampai di luar kepala seperti dasar perhitungan matematika -- kalau perlu sampai menjadi insting.
Lalu tanyanya, "Iya. Di mana uangnya, Bu?"
"Itu, ambil di dompet Ibu."
Mungkin permintaan ini denotasinya sederhana. Tapi saat ia mengingat kembali segala hal yang pernah dilakukannnya, kedua orang tuanya tak pernah merasa cukup.
Terngiang lagi ungkapan kedua orang tuanya, "Luke. Begini, Ibu kasih tahu ya...kamu itu harus baik sama orang tua." "Luk...kalau orang tuanya itu minta tolong yo dibantu."
Saat itu terngiang kembali ia bertanya, "Apakah selama ini tak pernah kubantu mereka? Kapan aku mementahkan permintaan mereka? Kecuali memang permintaan itu sangat-sangat tidak penting..baru tidak Luke lakukan." Belum lagi dengan orang tuanya yang selalu menuntut hal-hal yang baginya tidak perlu dan sepele.
Tak lama ia kembali ke kayuhan sepedanya menuju Alfamart untuk membelikan barang yang sang ibu butuhkan. Namun ia terjerat lagi pada rasa sangsi, "Apakah aku harus munafik dengan diriku dan menyenangkan Bapak-Ibuku? Atau aku harus berdikari -- bersikap independen dengan menegasi segala argumen, perintah, serta ajaran yang berbeda dengan prinsipku?" Saat ini pertanyaan itu menghantuinya dan tak ada jawaban untuk itu semua. Mungkin, permenungan Nietzche tentang menerima realita apa adanya tanpa mengambil kesimpulan rasional yang menuntaskan permenungan akhir tentang realita tersebut, bisa membantunya menapak di periode terjal ini. Namun, pikiran dan hatinya tak kuasa dengan jawab itu dan semua permenungan para filsuf lainnya yang ia tahu.
Hari baru di bulan yang sama dan selanjutnya berdatangan. Di saat senja yang mengabu-abukan lintasan langit, Luke kembali bertanya dengan sari yang tak berbeda dengan sebelumnya. Tapi kali ini, ia tak hanya memberontak pada kontestasi fasisistis yang ia rasakan di rumahnya dan segala konotasi kejahatan yang dilepaskan melalui ajaran orang tuanya. "Jancuk! Sebenarnya siapa yang tidak mau belajar di sini? Aku atau mereka? Oh, jelas aku yang goblok! Aku bodoh karena tidak bisa menuruti maunya dunia! Apakah aku salah, Dunia? Apakah segala transformasi di dalam hidupku adalah kesia-siaan?"