Fashion menjadi salah satu kebutuhan yang mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan, khususnya Gen Z. Selain sebagai kebutuhan, fashion juga menjadi media ekspresi diri. Thrifting merupakan salah satu cara yang banyak dipilih remaja untuk mengeksplor selera fashion mereka.
Apa itu thrifting?
Thrifting berasal dari bahasa inggris thrift yang artinya barang bekas impor. Sedangkan thrifting adalah kegiatan membeli produk bekas namun berkualitas dan masih layak pakai (CTA, 2024). Meskipun produk bekas, kualitas produk yang ditawarkan masih baik sehingga layak untuk dikenakan. Kegiatan thrifting dapat dilakukan di thrift shop. Di masa kini, thrift shop tidak hanya tersedia secara offline. Ada banyak online shop yang menjual barang-barang thrift.
Sejarah Thrifting.
Tidak hanya di Indonesia, thrifting menjadi kegiatan yang banyak dilakukan di berbagai negara.
Konsep thrifting sebenarnya sudah dikenal sejak dulu. Pada mulanya, toko barang bekas (thrift shop) muncul di Eropa dan Amerika serikat pada abad ke-19. Hadirnya thrift shop ini bertujuan menyediakan pakaian dan perlengkapan lainnya untuk mengurangi kemiskinan. Thrifting sejalan dengan keadaan ekonomi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, dimana terjadi depresi besar. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat harus berhemat. Terjadinya Perang Dunia II turut membawa pengaruh ke dunia fashion, terutama perilaku konsumen. Produksi pakaian baru sangat terbatas sehingga masyarakat memanfaatkan kembali pakaian yang ada di lemari mereka.
Masa kejayaan thrifting terjadi pada tahun 1960 an dan 1970 an. Gaya Hippie dan Bohemian merupakan salah satu tren fashion pada saat itu. Gerakan Kontra-Budaya (Counter Culture) mendorong popularitas barang bekas sehingga banyak orang mengunjungi thrift shop.
Lalu, mengapa thrifting masih relevan hingga sekarang?
Saat ini, Perubahan iklim (Climate Change) menjadi topik yang ramai dibicarakan di masyarakat. Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca, biasanya disebabkan oleh kegiatan manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil (United Nations). Sejak adanya revolusi industri, bumi mengalami kenaikan rata-rata suhu lebih cepat. Fenomena ini disebut dengan Global Warming. Global Warming disebabkan oleh emisi gas efek rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana, yang mayoritas dihasilkan dari aktivitas manusia. Gas efek rumah kaca menyebabkan energi panas yang berasal dari matahari "terjebak" di atmosfer sehingga menyebabkan peningkatan suhu bumi.
Program Lingkungan PBB (UNEP) menyebutkan bahwa Industri Fashion menyumbangkan sekitar 10% emisi karbon global sehingga menjadikannya sebagai salah satu faktor dalam perubahan iklim. Berikut ini adalah alasan mengapa industri Fast Fashion memberikan pengaruh terhadap perubahan iklim.
Produksi dalam Jumlah Besar