[caption caption="Persebaya 1927 (Tribunnews)"][/caption]
Tamat sudah riwayat dan kiprah Persikubar yang mengaku sebagai Persebaya asli di kancah sepakbola Indonesia setelah Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual menyatakan Persebaya 1927 yang sempat berlaga di Liga Primer Indonesia (LPI) dan Indonesian Premier League (IPL) sebagai satu-satunya Persebaya yang sah dengan menerbitkan sertifikat hak paten atas logo dan merek tertanggal 21 September 2015. Hal ini diharapkan dapat mengakhiri berbagai spekulasi dan perdebatan tentang mana sebenarnya Persebaya yang asli dan sah.
[caption caption="Sertifikat Merek Persebaya. Sumber : CNN Indonesia"]
[/caption]
Tak dipungkiri lagi, nama besar Persebaya yang begitu melegenda menjadi daya tarik tersendiri di kancah persepakbolaan Indonesia. Berdiri sejak tahun 1927, klub yang berjuluk Bajul Ijo (buaya hijau) ini menuai berbagai macam prestasi di level kompetisi domestik. Sempat terdegradasi di tahun 2002, namun seketika bangkit dan menjuarai liga.
Kisruh Persebaya mulai mencuat ketika tahun 2005, Persebaya menyatakan mundur (walkout) dari babak 8 (delapan) besar Divisi Utama yang digelar di Jakarta. Keputusan mundur ini dipicu lantaran Persebaya menjaga keamanan dan keselamatan kelompok pendukung fanatiknya, Bonek --akronim dari Bondo Nekat, setelah mendapat ancaman dari Jakmania --kelompok pendukung Persija Jakarta. Parahnya, bukannya takut, Bonek malah merespons akan menghijaukan ibukota, sehingga dikhawatirkan bentrokan antar pendukung yang menjadi musuh bebuyutan akan terjadi. Akibat aksi walkout ini, Persebaya rela didegradasikan ke Divisi Satu ditambah sejumlah sanksi yang dikenakan kepada pengurusnya. Bukan Persebaya jika tak memiliki mental juara. Cukup setahun berjuang di kasta kelas dua kompetisi sepakbola nasional, Persebaya menjadi juara setelah menyingkirkan PSMS Medan melalui Babak Playoff.
Kisruh kedua yang merupakan titik tolak terjadinya dualisme Persebaya adalah saat di musim kompetisi 2009/2010, Persebaya disinyalir menjadi tumbal PSSI yang berbau politik dengan memaksanya kembali ke Divisi Satu setelah dinyatakan kalah walkout lawan Persik Kediri di Babak Playoff Divisi Utama yang ditunda hingga 3 (tiga) kali. Kronologisnya saat itu, Persik tak bisa menggelar laga di Kediri karena alasan keamanan. Kemudian PSSI menjadwalkan ulang pertandingan di Yogyakarta. Saat itu Persebaya hadir, namun Persik tidak hadir sehingga dinyatakan kalah walkout dan terkena sanksi. Anehnya, pengajuan banding Persik diterima oleh PSSI dan lagi-lagi menjadwalkan ulang laga playoff melawan Persebaya di Kediri meski izin keamanan tidak diberikan oleh Polda Jatim karena Bonek pernah rusuh di Kediri.
Karena alasan keamanan dan tidak adanya rekomendasi/izin dari Polda Jatim, Persebaya membatalkan niatnya untuk hadir. Ini berarti sudah 3 (tiga) kali Persik tidak bisa menggelar atau menghadiri laga. Lagi-lagi PSSI membuat keputusan kontroversial dan tak masuk akal dengan mencoba untuk keempat kalinya menggelar laga playoff, kali ini bertempat di Palembang. Mungkin merasa terus diberikan dispensasi, Persik hadir.
Sebaliknya, merasa seharusnya sudah berhak menang dan dipermainkan PSSI, Persebaya menolak hadir. Kali ini, tanpa ampun PSSI langsung menghukum Persebaya dengan degradasi dan sejumlah sanksi. Kedua tim -Persebaya dan Persik- akhirnya dinyatakan degradasi. Tim yang paling diuntungkan dalam kasus ini adalah Pelita Jaya Karawang yang batal terdegradasi. Inilah skenario yang diduga dimainkan oleh PSSI karena Pelita Jaya merupakan klub milik keluarga Bakrie yang berkuasa di PSSI.
Buntut dari keputusan dzalim PSSI ini membuat kubu Persebaya geram dan akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi yang berada di bawah naungan PSSI. Kebetulan saat itu, kinerja bobrok PSSI mendapat banyak sorotan dan disinyalir dijalankan oleh mafia sepakbola, serta bermuatan politik. Bukan hanya Persebaya, beberapa klub juga memutuskan hal serupa dengan menolak mengikuti kompetisi. Setali tiga uang, untuk pertama kalinya di Indonesia ada dualisme liga dengan digulirkannya breakaway league bernama Liga Primer Indonesia (LPI) yang digagas pengusaha Arifin Panigoro. Persebaya di bawah naungan PT. Persebaya Indonesia turut berpartisipasi di LPI dengan menggunakan nama Persebaya 1927 dan meluncurkan logo baru yang lebih fresh. Membangkangnya beberapa klub di bawah kepengurusan PSSI ini membuat PSSI berang dan mengancam akan mencoret kesemuanya dari keanggotaan PSSI.
Tetapi nampaknya PSSI tak legowo dan tak rela kehilangan Persebaya dengan basis pendukungnya yang begitu masif. Bagaimanapun, nama besar Persebaya adalah sebuah komoditi dengan prospek pasar yang sangat besar dan menguntungkan, sehingga pihak-pihak tertentu yang mendapat dukungan penuh dari PSSI membentuk klub kloningan bernama Persebaya yang berlaga di Divisi Satu. Persebaya tandingan ini sebenarnya adalah Persikubar Kutai Barat yang semua pemainnya dihijrahkan ke Surabaya untuk membentuk Persebaya.
Demi menarik lebih banyak pendukung, bahkan mereka jorjoran menggelontorkan rupiah demi mendatangkan pelatih dan para pemain bintang. Namun loyalitas sejati tak bisa dibeli dengan uang. Meski Persebaya yang berada di bawah naungan PT. Mitra Muda Inti Berlian --sebuah perusahaan bergerak di bidang konstruksi-- berusaha mati-matian merayu para Bonek, namun hanya segelintir pendukung mereka --yang juga melabeli diri sebagai Bonek-- memberikan dukungan langsung di stadion.