Lihat ke Halaman Asli

Imdad Rabbani

akademisi

Refleksi Puasa sebagai Penyokong Fitrah di Hari Kemenangan

Diperbarui: 9 Mei 2021   13:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok imdad.rabbani

Hari demi hari telah kita lalui, tiga puluh hari melaksanakan kewajiban sebaga hamba yang taat pada illahi. Kesabaran, pantangan dan tantangan silih berganti dihadapi dengan imanan wah tisaban, sebagai bekal mendapatkan fitri yang penuh dengan kesucian. Mengajarkan kepada manusia akan pentingnya sebuah perjuangan, menjalankan ketaatan dan mudah-mudahan barokah ganjaran serta kesehatan senantiasa allah limpahkan di kondisi pandemi yang berkepanjangan.

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Kalau ingin kembali pada fitrah, sempurnakan jumlah hari puasamu. Makna sempurnakan ini ada 2 yaitu : sempurnakan satu bulan penuh dan sempurnakan semangat puasamu. Walaupun ramadhan berakhir, puasa jangan selesai, kenapa? Tangan kita masih tetap puasa dari mengambil yang bukan milik kita, lidah kita walaupun ramadhan telah berakhir tetap berpuasa, dari memfitnah dan menggunjing orang lain. Kaki kita walaupun ramadhan telah berakhir tetap berpuasa, dari berjalan ke tempat-tempat yang tidak baik. Perut kita pun demikian tetap berpuasa dari kemasukan barang-barang yang haram. Kedisiplinan, kejujuran, rasa kasih sayang yang menjadi nilai-nilai puasa tetap harus kita lestarikan di bulan-bulan lainnya sebagai bagian dari petikan pembelajaran yang berharga di bulan ramadhan kemarin. Jangan sampai keimanan kita hanya sebatas lisan saja namun sekuler dalam perbuatan. seakan-akan allah hanya ada dalam lingkup masjid dan tempat ibadah lainnya. Tetapi rasa akan senantiasa diawasi oleh allah perlu kita yakinkan, agar kemaksiatan insyaallah akan terus berkurang.

Bulan puasa telah kita lewati pada tahun ini, namun tidak ada garansi kita akan dipertemukan kembali dengan ramadhan di tahun nanti. Lantas, pertanyaan yang relevan kita sematkan pada diri kita adalah “Apakah kita pantas mendapatkan sebuah kemenangan, serta bagaimana mempertahankan kefitrahan manusia sebagai bentuk refleksi dari ibadah puasa yang penuh dengan perjuangan?”. Jangan sampai puasa kita hanya sebatas menahan lapar dan dahaga

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ

yaitu banyak orang yang berpuasa,namun ia tak mendapatkan apapun dari puasanya selain rasa lapar saja.

Sebagai bentuk refleksi puasa dalam rangka memelihara fitrah agar tetap lestari dalam diri manusia itu bisa dilakukan dengan tiga hal yaitu : 1) Mengokohkan Ketauhidan. Ramadhan merupakan sebuah momentum terbaik dalam memperkuat serta mengokohkan kembali keimanan seseorang. Melalui sebuah ibadah-ibadah mahdah yang tujuannya mendidik jiwa-jiwa yang menjauhi-Nya untuk seraya kembali kepada-Nya, mengembalikan kesadaran jiwa yang berlumur dosa untuk seraya meminta ampunan kepada-Nya serta mendorong jiwa-jiwa yang lalai untuk bersimpuh sujud dalam bingkai ketulusan dan mengharap keridhoan-Nya. Karena faktor bertambahnya iman ialah ketaatan. Sedangkan faktor menurunnya iman tak lain dan tak bukan ialah kemaksiatan. Sebagaimana dikatakan ibnu ruslan dalam matan Zubad Ibn Ruslan (Beirut: Daru Makrifat) halaman 5-6:

فكن من الإيمان في مزيد # وفي صــــفاء القلب ذا تجديد
بكثرة الصلاة والطاعات # وترك ما للنفس من شهوات
فشهوة النفس مع الذنوب # موجبتــــــان قسوة القـــلوب
Maka Jadilah kamu bertambah dalam keimanan, dan memiliki kejernihan dalam hati.
Dengan memperbanyak sholat dan ketaatan, serta meninggalkan sesuatu yang menyebabkan syahwat
Maka nafsu syahway serta dosa, merupakan faktor yang menyebabkan kerasnya hati

2) Menguatkan komitmen keubudiyahan, yaitu dengan mempertahankan kebiasaan-kebiasaan dalam menjaga sholat fardlu serta sholat sunnah yang biasa dilakukan di bulan suci ramadhan serta sepertihalnya membayar Zakat yang disempurnakan dengan infaq dan sadaqah. Hal ini menandakan bahwa menandakan ritual ubudiyah atau ibadah memiliki dua hal secara integral yaitu formalistik. Artinya kegiatan ibadah secara kasap mata dilakukan sesuai dengan tuntutan sepertihalnya sholat dengan gerakan-gerakannya, namun tetapi tidak cukup hanya sebatas formalistik saja tetapi esensi ubudiyah harus menyentuh pada aspek substansialistik, yaitu adanya pengaruh dari keterlaksanaannya ibadah tersebut dalam kehidupan sehari-sehari. Dengan menjaga konsistensi ibadah dan menegakkannya secara sempurna semata-mata hanya karena Allah, seorang muslim akan terpelihara fitrah kesuciannya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline