Persoalan penegakkan dan perlindungan hak asasi manusia tidak akan ada habisnya, menjadi perdebatan dari waktu ke waktu dalam sejarah peradaban umat manusia.
Hak-hak asasi manusia, adalah sesuatu yang paling fundamental atau hak dasar dalam kehidupan manusia. Jika hak itu dicabut, maka manusia bukan manusia lagi!
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948, lahir setelah dunia internasional baru saja selesai dari peperangan yang mengerikan. Jutaan manusia menjadi korban Perang Dunia II saat itu.
Pengalaman tragis dan traumatik umat manusia menjadi pemicu deklarasi tersebut. Yang intinya menegaskan bahwa seluruh umat manusia dilahirkan merdeka. Mempunyai martabat dan hak-hak yang sama.
Jika dapat berasumsi bahwa deklarasi hak-hak asasi manusia itu diakui, dihayati, dan dijunjung tinggi oleh umat manusia di berbagai bangsa, maka kita juga ingin berada dalam asumsi itu.
Namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana pengakuan hak-hak asasi manusia itu bisa ditegakkan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-sehari, dengan berbagai permasalahan konkret yang ada dalam masyarakat saat ini.
Pandangan hak asasi manusia yang berkembang hingga kini lebih menekankan kepada sifat individualistiknya, dan menggeser sikap kegotongroyongan yang integralistik sebagai dasar pandangan hidup manusia Indonesia. Individu-individu dan kelompok-kelompok hadir dengan membawa hasrat dan keinginan personalnya.
Dalam pergaulan hidup masyarakat sehari-hari, hanya ingin ada perbaikan kualitas hidup. Hidup yang layak! Hak untuk mendapat pekerjaan dan upah yang layak. Hak untuk mendapatkan tempat tinggal dan lingkungan yang sehat. Hak untuk pintar-cerdas dengan pendidikan yang sama dengan yang lain. Hak untuk sehat, dengan makanan dan pelayanan kesehatan yang layak. Hak untuk bebas dari ketakutan ketika pandangan hidup berbeda dari mayoritas. Hak untuk diperlakukan sama di semua sektor kehidupan.
Proses demokratisasi yang berjalan sejak reformasi telah membawa perkembangan yang positif dalam hak-hak sipil dan politik, namun berbeda dengan perwujudan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Masih jauh dari harapan.
Realisasinya, memerlukan peran dan keaktifan negara. Penyelenggaraan Festifal HAM di Semarang beberapa hari yang lalu, mungkin dimaksudkan untuk itu. Agar penyelenggara negara dari pusat hingga tingkat daerah lebih peka.
Di sisi lain, sebagian kelompok masyarakat sipil menentang festival HAM tersebut, karena dihadiri para pelanggar HAM. Kedua-duanya memiliki peran dan tujuan yang pasti positif.