Lihat ke Halaman Asli

Pecandu Sastra

Blogger dan Penulis

Luck

Diperbarui: 30 Juni 2024   14:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar oleh Pixabay 

 “Ayah, bisa bantu ikatkan rambutku?” sambil kuserahkan ikat rambutku padanya.

 “Bisa dong, kemarilah,” dengan tersenyum seperti biasa. Namun benar dugaanku, Ayah tak pandai mengikatkan rambut meski ia terus berusaha. 

“Sudahlah yah, aku biasa pakai pin pada rambutku,” kemudian ayah berdiri lalu pergi mencari payung. Dan aku masih menggerutu -  “Ibu selalu sibuk setiap pagi,” - tiba-tiba ayah menyahut “Kamu cantik dengan pin itu,” sambil terus tersenyum dan berjalan keluar rumah untuk berangkat bekerja. Aku pun ikut bergegas untuk berangkat ke sekolah sambil menenteng payung merahku. 

“Sayang, jangan cemberut dong,” bujuk ibu padaku yang masih diam. “Ibu janji besok akan mengikat rambutmu yang cantik,” 

“Ibu selalu bilang begitu,” gerutuku.

“Maafkan ibu sayang, mau ibu antar sampai ke sekolah?” tanyanya. 

“Tidak ibu, aku bisa berangkat sendiri," kataku pasti sambil tersenyum padanya. 

“Baiklah, hati-hati ya sayang.”

 Aku terus berjalan melewati jalan yang sudah tak asing kulewati setiap hari. Pagi itu hujan turun sedikit lebat, aku tak melihat teman-temanku, entah mereka sudah berangkat atau justru tidak berangkat. Tapi sepertinya aku yang kesiangan.

Langkahku terhenti ketika ada sosok laki-laki seusia ayahku berdiri di depanku. Aku menatapnya, dia tersenyum tapi senyum itu terlihat menyeramkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline