Gemerlap, sunyi, dan sepi di bawah langit Kota Santri Jombang, Jawa Timur. Pukul 21.00 waktu Indonesia bagian Barat (Wib) kami berpijak di tanah Tebu Ireng bersama rombongan guna menziarahi makam muasis Nahdlatul Ulama (NU) Mbah Kiai Haji Hasyim Asy'ari dan Bapak Presiden Republik Indonesia (RI) keempat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Terlihat tanah sekitar basah, cuaca dingin yang menyelimuti langit Kota Jombang usai turun hujan membuat sekujur tubuh terasa gigil. Malam itu, meski telah mengenakan kaus yang diselimuti jaket tebal, sorban panjang dan lebar berwarna cokelat tetap aku kenakan agar suhu tubuh makin hangat.
Kala itu, lingkungan sekitar mulai sepi. Selain pengunjung yang mulai sedikit demi sedikit meninggalkan Kota Santri tersebut, beberapa kedai yang menyajikan makanan dan minuman mulai memadamkan cahayanya, juga beberapa toko yang menjual souvenir pun mulai menutup tirainya.
Usai mengambil wudhu dan berfoto di depan gerbang bagian belakang Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, bersama rombongan kami menziarahi makam Mbah Hasyim dan Gus Dur. Biasanya dalam waktu-waktu yang ramai, para peziarah membludak. Seperti pada Februari 2023 lalu, kala itu saya bersama teman-teman keluarga besar Nahdlatul Ulama Kabupaten Bogor usai ikut dalam perayaan puncak hari lahir satu abad NU di Sidoarjo, Jawa Timur, kami mampir ziarah ke sini. Saat itu desak-desakan dengan ratusan peziarah dari berbagai kota. Beruntungnya, malam ini bias berjalan santai dan tertib.
Usai melantunkan qasidah Salamullahi Ya Sadah, kita duduk di serambi makam, tepat berada di depan pagar pembatas. Mataku tertuju pada foto al-maghfurlah KH. Abdurrahman Wahid dalam bingkai bunga berbentuk bulat yang diletakkan di samping makam, dengan tulisan Tribute To Gus Dur 2023. Ada pula pigura bambu kuning runcing dengan bendera merah putih padanya dan terdapat tulisan pahlawan.
Bau melati, mawar, dan semerbak perfume berseliweran di hidung. Ditambah bau tanah basah usai disirami air hujan menambah nikmat dan kekhusyuan. Di tengah bacaan tahlil, air mataku meleleh jatuh, tidak mampu lagi terbendung, pecah dalam tangis sesegukan. Entah, tiba-tiba usai mata berkeliling melihat sekitar, pikiranku melayang ke dalam ilustrasi film Sang Kiai yang pernah aku tonton. Film yang menceritakan bagaimana perjuangan Mbah Kiai Hasyim Asy'ari saat berhadapan dengan para penjajah Jepang.
Tubuhku gigil, kembali terngiang bagaimana perlakuan para penjajah Jepang kala itu memperlakukan dengan kasar para santri dan Mbah Hasyim. Meski demikian, sedikitpun Mbah Hasyim tak gentar untuk tetap mempertahankan Keislamannya, dan terus berjuang melawan kedzaliman.
Potret film Sang Kiai yang disutradarai Rako Prijanto dan dibintangi oleh Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken, dan lainnya berputar dalam pikiranku. Seakan aku ikut hadir dalam perjuangan Mbah Hasyim dalam menumpas penjajahan Jepang. Film ini merupakan film aksi drama biografi Indonesia yang tayang pada tahun 2013 -- mengangkat kisah seorang pejuang kemerdekaan sekaligus salah satu Pendiri NU di Jombang; Hadratussyaikh Kiai Haji Hasyim Asy'ari. Film ini mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik, sutradara terbaik, pemeran pendukung pria terbaik, dan tata suara terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 2013. Juga terpilih sebagai wakil Indonesia untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik dalam Academy Award ke-86, tetapi tidak lulus nominasi.