Lihat ke Halaman Asli

Renungan

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salam kedamaian dan kebahagiaan selalu

Persoalan di negeri ini bermunculan dalam bobot dan skala yang semakin lama bukannya semakin ringan tetapi sebaliknya, justru semakin berat. Krisis demi krisis, skandal demi skandal terus lahir di berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam skala dan bobot yang semakin mengerikan. Adalah keprihatinan dan kesedihan seluruh anak bangsa menghadapi kenyataan itu. Runcing ke bawah, tumpul ke atas. Seperti itulah perumpamaan praktik hukum di negeri ini. Hukum hanya tajam buat mereka yang papa dan tak berdaya, tetapi majal untuk mereka yang kaya dan berkuasa.

Indonesiasebagai negara terkorup belum juga menjauh dari Indonesia. Padahal perang total terhadap korupsi di negeri ini terus saja dikumandangkan. Toh korupsi tetap saja menggurita. Persepsi tentang negara terkorup pun tidak kunjung terkikis dari benak para pelaku bisnis internasional. Hasil survei terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC), awal pekan ini, menegaskan hal itu. PERC menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara se Asia Pasifik. Penegakan hukum yang dilakukan belum menyentuh rasa keadilan. Karena ternyata, banyak dari mereka yang dihukum atau tidak dihukum justru mengoyak rasa keadilan.

Perbedaan kehidupan menjadi semakin tajam. Yang kaya kian angkuh memamerkan harta dan kemewahan sedangkan yang miskin semakin terlantar dan terpinggirkan. Yang berkuasa semakin ganas memperlihatkan kerakusan menjarah uang negara, sedangkan yang tidak berkuasa kian tertekan dalam ketidakberdayaan. Bangsa ini sedang mengalami pergeseran nilai. Koruptor sepertinya semakin dihargai dan dihormati. Mereka mempunyai pengikut setia yang siap memenuhi ruang sidang memberi semangat ketika sang koruptor diadili. Atau mereka akan berdemonstrasi membela sang perampok uang negara.

-Dari mulai pengadaan 80 unit mobil mewah pejabat, Pengadaan mobil mewah ini juga tidak mendidik karena akan mendorong pemerintah daerah melakukan hal yang sama. Sebaiknya di kelola untuk memberikan pendidikan gratis bagi 184.000 siswa setingkat SMP. Dengan demikian, satu mobil dinas pejabat negara dapat menggratiskan biaya pendidikan sekitar 2.300 siswa setingkat SMP dalam setahun. Itu lebih banyak manfaat karena pejabat sudah memiliki fasilitas Negara yang cukup.

-Bui mewah Artalytha Penjara sudah menjadi hotel dalam pengertian yang sebenarnya. Ada fasilitas sofa empuk, kulkas, pendingin ruangan, dan tentu saja televisi serta telepon seluler. Bahkan ada pula tempat karaoke dan bisa mendatangkan dokter spesialis perawatan kecantikan. Fasilitas selalu dekat dengan uang dan kekuasaan. Terpidana yang tidak memiliki uang akan ditumpuk dalam ruangan sempit. Penjara mewah Artalyta mencerminkan wajah diskriminatif pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Dirjen LP, dan Kepala Rutan Pondok Bambu bahkan ayin mendapat remisi dari MK menjadi 4,5 tahun.

-Obral Remisi buat Koruptor ketika semua lembaga penegak hukum sedang mendapat sorotan hebat akibat heboh makelar kasus perpajakan dan karenanya kini bertindak superhati-hati, Mahkamah Agung justru membuat langkah yang sarat kontroversi.MA malah mengurangi hukuman Artalyta Suryani,menjadi 4,5 tahun. Memang bukan Artalyta saja, namun sebumnya obral remisi juga diberikan kepada Burhanuddin Abdullah dalam kasus aliran dana Bank Indonesia hukumannya berkurang dari lima tahun enam bulan menjadi tiga tahun. Obral remisi hanya akan menjadi pupuk untuk menyuburkan korupsi. Dan itu sangat melukai nurani rakyat.

Persoalan bangsa yang tidak berhasil dituntaskan secara substansial telah membawa bangsa ini kian tenggelam dalam dimensi yang lebih luas dan kompleks dari krisis. Berbagai kasus yang muncul belakangan ini seperti kasus Century, kasus mundurnya Menkeu Sri Mulyani, kasus Susno Duadji, dan kasus-kasus lain yang muncul sebelumnya menjadi indikasi bahwa elite bangsa ini lebih banyak memindahkan persoalan yang satu ke persoalan yang lain daripada menyelesaikan secara tuntas. Dalam level tertentu, hal itu telah melemahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara.Salah satu penyebabnya adalah karena kalangan elite bangsa ini, khususnya pejabat pemerintah dan politikus, telah mengalami mati rasa. Prinsip-prinsip tentang keluhuran budi, kesetiakawanan sosial, kejujuran, dan idealisme telah dikalahkan oleh ketidakpekaan, ketidakpedulian, dan semangat pragmatisme dalam menyelesaikan persoalan. Semangat kebangsaan telah direduksi dan dikerdilkan sedemikian rupa demi membela kepentingan individu, partai, kelompok, dan golongan. Elite bangsa yang semestinya memberikan teladan tentang budi pekerti, nilai-nilai luhur, kemanusiaan, kejujuran, dan idealisme lebih banyak mempertontonkan kemunafikan dan ketidakpedulian. Yang lebih sering berlangsung adalah barter dan transaksi dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kita menyaksikan bagaimana masyarakat menekankan interaksi transaksional dalam bentuk yang paling rakus. Sesungguhnya, ini gejala yang sangat mengkhawatirkan. Karena tidak hanya merasuki kaum elite, tapi juga merambat ke hampir semua elemen masyarakat. Karena itu, diperlukan upaya besar dan berani untuk menghentikan laju kemerosotan moral yang tengah dialami bangsa ini. Bila terus dibiarkan, tidak ada yang bisa menjamin bangsa ini akan mampu bertahan. Kuncinya ada pada semangat keteladanan dari para pemimpin bangsa. Keteladanan untuk berbuat baik, berbudi pekerti luhur, bermoral, dan berpihak serta berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Kalau semangat seperti itu telah sirna dari dalam diri pemimpin kita yang ada saat ini, tantangan bagi seluruh komponen bangsa ini untuk melahirkan kembali pemimpin-pemimpin baru yang lebih muda, lebih berani, lebih jujur, dan lebih amanah. Karena itu, perlu didukung lahirnya kekuatan baru dengan barisan moral yang lebih kukuh, lebih intelektual, lebih merakyat, lebih berdisiplin, dan lebih berketerampilan. Itulah solusi bagi bangsa yang sakit. Kita mengajak segenap komponen bangsa ini untuk bangkit. Bangkit memerangi kemiskinan dan kemelaratan, bangkit memberantas korupsi dan bangkit memperjuangkan keadilan. Kita tidak ingin negeri ini kembali terkubur krisis hanya karena para pemimpin lemah. Kita butuh pemimpin kuat yang mampu menuntun rakyatnya menembus lorong gelap. Sudah terlampau lama kita berkubang dalam ketidakpastian seolah tanpa pedoman dan tidak tahu kemana harus melangkah. Setiap bangsa kiranya pernah mengalami masa suram. Justru di masa sulit itulah semakin diperlukan pemimpin, yaitu pemimpin yang mampu dengan cepat membawa bangsa dan rakyatnya bangkit dan keluar dari krisis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline