Lihat ke Halaman Asli

Mendaki Impian

Diperbarui: 13 Desember 2022   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Saya menulis, saya ingin Anda membacanya. Who am I? Saya hanya ingin bercerita. Mungkin readers juga merasakan apa yang saya rasa, mengalami apa yang saya alami. Memiliki sebuah impian, tetapi untuk mencapainya terasa tak punya daya. Seakan tangga menuju impian itu sulit untuk dinaiki. Barangkali readers memiliki kesulitan yang sama, lalu bisa melewati setiap hambatan. Syukur-syukur bila ada yang berkenan dengan senang hati berbagi tips, langkah, atau apalah untuk menuntun saya menuju impian. 

Saya memiliki impian banyak. Saat ini, saya merasa usia telah menjadi hambatan. Saya telah melewati jenjang kuliah beberapa tahun silam. Saya merasa saya tak menghasilkan apapun setelah selesai menempuh pendidikan 16 tahun. Seingat saya, waktu SD ketika ditanya cita-cita oleh guru, saya jawab "asal-asalan." Saya tulis dalam kertas kecil "cita-cita menjadi guru." 

Ketika saya berada di semester pertengahan kuliah, saya mulai membaca berbagai buku. Saya mulai menemukan sosok-sosok hebat. Impian demi impian mulai bersemi. Salah satu impian saya, saya ingin menjadi penulis inspiratif berangkat dari melihat profil penulis-penulis hebat. Saya menuliskan impian saya di buku diary. Dengan besar harapan, coretan itu akan menjelma menjadi nyata. 

Ternyata, faktanya saya tidak maksimal untuk mewujudkan mimpi itu. Saya sibuk bekerja yang tidak linear dengan impian saya. Saya bekerja untuk mendapatkan uang sebatas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membantu ekonomi orang tua. Saya tenggelam dalam kesibukan itu hingga saya lupa telah melewati tahun demi tahun. 

Tiba rasa lelah yang dirasa tiada menghasilkan apa-apa. Saya ingin belajar lagi. Mengejar ketertinggalan. Ah, rasanya pintu belajar seakan tertutup oleh tuntutan kerja yang harus tampak menghasilkan uang. Telingaku sering dibisiki, "usiamu bukan lagi usia untuk belajar. Ke mana saja selama ini?" 

Sepanjang hari, saya hanya menangisi mengapa saya baru menyadari pentingnya belajar berbagai hal, terutama dunia kepenulisan. Keinginan saya, saya bisa menerbitkan satu buku saja. Setiap memulai ingin menulis, selalu dihantui oleh kalimat "apa yang akan engkau tulis, sementara pengetahuan tentang menulis sangat minim? Apa engkau ingin dunia menertawakan karyamu yang asal-asalan?" 

Kembali lagi berputar di harus "belajar, belajar, belajar tentang dunia kepenulisan" di tengah perjalanan berhenti, putus asa, lalu menjauhkan tangan dari menulis sesuatu, bahkan dari tulisan receh sekalipun. Rasa minder telah menjadi penyakit akut di dalam diri. 

Kemudian impian menjadi penulis, memudar. Profil hebat yang menjadi inspirasi hanyalah orang-orang terpilih. Alasannya, mereka sudah memiliki bakat di sana. Mereka dikaruniai kemampuan untuk mencapai kedudukan sebagai penulis. Sedangkan saya, saya hanyalah sosok pemalas dan penakut. Saya tidak bisa mencapai impian itu. Buruk sekali memang prasangkanya. Di bawah alam sadar pesimis ini secara sengaja dibangun menjadi benteng antar diri dengan impian. 

Saya ingin merobohkan benteng ini. Apakah kesempatan itu sebenarnya masih ada? Namun, saya berada dalam titik bingung sebingung-bingungnya. Saya harus memulai dari mana. Saya tak memiliki sandaran yang mendukung menuju impian saya. Di sisi lain, tuntutan keluarga untuk bekerja sudah disajikan di hadapan saya. Akankah saya kembali pada kesibukan yang tak menghasilkan karya? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline