Kucing adalah hewan peliharaan yang paling imut, menggemaskan dan menghibur. Awalnya, kucing-kucing liar berdatangan untuk sekadar meminta makan, betah lalu menetap. Mungkin kucing-kucing itu merasa mendapat perhatian. Mereka, kucing-kucing yang terbuang, tidak diharapkan di beberapa tempat.
Rumahku, oleh tetangga dijadikan tempat pembuangan anak-anak kucing. Sehingga seperti tempat beternak kucing. Keluargaku, bukan keluarga seperti tetangga, jijik dan tidak suka dengan kucing. Alasannya, karena bulunya dianggap menjadi penyebab flu. Juga ketika buang kotoran, sering sembarangan. Serta nakal, sering mencuri lauk ikan. Anggapan seperti itu masih melekat di beberapa benak orang.
Berbeda dengan keluargaku, ketika ada kucing datang meminta makan, mesti dikasih. Kecuali ada beberapa kasus yang menjengkelkan, kucing itu diusir oleh ibu karena beberapa sebab;
1. Saat buang kotoran
Dapurku, bukan dapur lantai. Masih berbentuk tanah. Kucing dengan sifatnya buang kotoran dengan mengeruk tanah lalu menutupinya, dapurku sangat cocok untuk dijadikan tempat buang kotoran. Ibuku sebagai tuan rumah yang mengurus kebersihan dibuatnya jengkel. Muncullah kemarahan, lalu membuangnya jauh.
2. Masuk ke rumah
Kucing desa berbeda dengan kucing kota. Kucing sangat suka guling-guking di tanah. Tentu badannya menjadi kotor. Lalu masuk rumah naik ke kasur. Alamat, ibuku bakal marah besar. Di situlah terjadi percekcokan antara ibuku dan si empus.
Meski diusir berkali-kali oleh ibu, ujung-ujungnya mereka balik lagi. Ya ibuku, mendiamkan, pas makan, ya tetap ngasih makan kucing-kucing nakal itu. Rasa kasihannya lebih besar dari marahnya.
Sejak kecil, aku sudah terbiasa hidup dengan kucing di rumah. Meski tidak dijadikan hewan peliharaan. Maksudnya tidak niat untuk melihara. Jadi belum ada rasa ikatan emosional. Setelah menginjak remaja, aku mulai tertarik dengan kucing. Karena ada kucing besar, yang nurut. Muncul rasa suka juga dengan bayi kucing. Lagi-lagi ibuku ingin membuang bayi-bayi kucing yang dilahirkan di rumah. Katanya, kucing-kucing dikhawatirkan tambah banyak, yang bikin repot, satu, buang kotoran sembarangan. Belum ada cara untuk mengontrol kucing agar buang kotoran di luar yang jauh dari jangkauan hidung.
Saat ibu mau membuangnya, aku sembunyikan bayi-bayi kucing itu. Akhirnya, ibuku menerima keputusanku untuk melihat kucing. Bayi-bayi kucing itu dirawat dengan kasih sayang. Dengan pengalaman seadanya. Hanya bisa memperhatikan makannnya. Tidak hanya manusia, bayi kucing juga rentan sakit. Dalam proses perkembangannya, bayi kucing itu sakit. Beberapa bayi kucing itu mati satu persatu. Sedih. Aku tidak tahu cara mengatasi kucing sakit. Karena pada waktu itu aku masih anak-anak.
Bayi kucing yang selamat tinggal satu. Jantan, berbulu hitam putih. Ukiran bulunya sangat bagus, seakan berpakaian. Hitamnya seakan memakai jas, putihnya seakan memakai kaos kaki. Kuberi nama Sarkoji. Bayi kucing itu tumbuh dengan baik, meski belum waktunya disapih oleh sang induk, tubuhnya sehat. Induknya mati digantung oleh tetangga. Sungguh menyayat hati.