Bulan puasa merupakan bulan yang datang membawa kedamaian. Kedamaian hati dan tentunya kedamaian pikiran. Bulan yang sepatutnya disambut dengan penuh kegembiraan dan juga antusias dalam menjalankan akivitas peribadatan.
Namun kali ini datangnya bulan penuh berkah tersebut seolah terkesan malah membuat citra islam sebagai agama yang membawa pada kedamaian seolah-lah luntur sedikit demi sedikit. Islam sebagai agama yang mengajarkan toleransi terhadap sesama malah seakan-akan sebaliknya. Ini ada apa?
Baru-baru ini ada kasus razia warteg salah satu masyarakat di kota Serang, Banten. Kasus Saeni yang terkena razia petugas Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) lantaran tidak mematuhi perda larangan berjualan di bulan Ramadhan malah justru ramai diperbincangkan di media massa. Tak main-main pembicaraannya sampai menyangkutpautkan tentang intoleransi keberagamaan. Saeni yang secara hukum melanggar peraturan, seharusnya mendapatkan tindakan dari aparatur untuk menegakkan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Namun kemudian masalah ini malah berlanjut dalam perbincangan di ranah media social. Dimana atas dalih toleransi keberagamaan, kasus tersebut dianggap tidak toleran terhadap masyarakat lain yang tidak menjalankan ibadah puasa.
Di sini, agama islam yang salah satu poin pengertiannya adalah ajaran pembawa kedamaian malah terkesan secara paksa menghalangi datangnya rezeki orang yang tidak menjalankan ibadah puasa. Ini kan lucu. Orang lain yang tidak mengalami apa yang setiap hari dialami dituntut untuk menghormati orang lain yang tidak mengalami apa-apa selama datangnya bulan puasa. Ibarat kata ketika sebuah keluarga tertimpa dan mengalami sebuah musibah malah dituntut untuk menghormati orang lain yang sedang berbahagia. Bukankah itu terbalik?
Hanya karena satu peristiwa yang tidak terlalu besar yakni razia kepolisian terhadap pedagang oleh pengguna media kemudian dianggap sebagai sebuah peristiwa besar dan menyangkut hak hidup dan kebebasan orang. Padahal ketika ada peristiwa yang lebih besar lagi, dan lebih cocok untuk disebut sebagai peristiwa besar yang menyangkut hak hidup dan berkebebasan malah dikesampingkan dan seolah dianggap bukan apa-apa.
Padahal apa yang pernah terjadi pada contohnya penggusuran kampung tua Islam di Jakarta yang korbannya lebih banyak kemarin lebih cocok untuk dikatakan sebagai sebuah intoleransi. Lahan garapan untuk menyebutnya sebagai sebuah intoleransi pun lebih banyak, tak hanya dalam lingkup agama saja, contohnya intoleransi terhadap rakyat miskin, intoleransi pada rakyat kecil, intoleransi pada akar budaya dan lain-lainnya.
Tapi ketika peristiwa penggusuran kampong tua tersebut terjadi, netizen seolah dingin saja menanggapinya tak seserius ketika razia warteg bu Saenah kemarin terjadi. Sehingga dengan mencuatnya kasus bu Saenah kemarin secara tidak langsung memberikan andil besar untuk menyudutkan islam tentang intoleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H