Ia bertelanjang kaki, berjinjit mendaki tangga demi anak tangga. Ia tersenyum untuk sebongkah rindu yang menghitam di ulu hatinya. Nafasnya memburu ketika telapak kakinya menginjak anak tangga terakhir, teringat awal mula terbitnya sebuah rasa.
Gaun malamnya berkibar, ia membentangkan kedua tangannya. Riap-riap ingatan tentang beberapa malam yang terlewat oleh kisah demi kisah; syair demi syair; nada demi nada; dan diam demi diam. Ia memiliki hati yang selalu bertutur; “jangan biarkan dia masuk, sedikit pun jangan.” Namun, Ia sedang berbahagia menatap sepasang mata hitam di sampingnya.
Ia juga menatap langit dan tetiba merindukan bulan yang berwarna merah di Subang. Dengkur halus yang menyapa pendengarannya, aroma malam yang tak biasa, dan bau keringat yang melekat di tubuhnya semakin terasa nyaman. Saat gumpalan api menggantikan bulan merah, Ia menatap jalan semalam yang kini membawanya pulang dengan oleh-oleh seberkas rasa hangat di dadanya.
Ia duduk, dibiarkannya kakinya menjuntai bebas. Digerak-gerakkannya kakinya seakan ia sedang bermain air di telaga. Ia tahu, tak seharusnya ia berada di lantai teratas penginapannya. Tak seharusnya ia bimbang pada siapa ia akan pulang, karena untuk pertama kalinya ia begitu yakin ia sudah menemukan mata di mana ia bisa menemukan dirinya sendiri.
Ia bangkit, Ia harus kembali untuk menemukan keping terakhir kenangan yang tercecer di sepanjang jalan menuju malam. Namun Ia terjatuh; hatinya jatuh bahkan sebelum ia menyadarinya. Ia pecah begitu pun hatinya.
Sumber gambar: imagesci.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H