Lihat ke Halaman Asli

Conni Aruan

TERVERIFIKASI

Apa ya?

Remember Me

Diperbarui: 12 Oktober 2015   23:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kisah sebelumnya : Sekotak Coklat dan Kahlil Gibran
Suster bertubuh gemuk itu memandangku dengan sayang, merapikan kancing piyama yang baru dibelikan Papa untukku, juga menambahkan polesan bedak di pipiku yang kurus dan pucat. Aku memeluk lengannya dan mengucapkan terima kasih entah yang keberapa kalinya sejak aku kembali jadi penghuni rumah sakit ini.

“Aku pengen ngaca,” pintaku halus.

Suster Merlin melebarkan matanya dan kemudian tatapannya melembut saat Papa memasuki ruangan – dia meminta persetujuan Papa. Aku mengangkat bahuku dan perlahan kembali ke tempat tidur. Papa masih ngobrol dengan Suster Merlin saat aku meraih ponselku dan mencoba menemukan sesuatu yang menarik di sana.

Laki-laki di taman itu, aku tidak tahu namanya. Aku dan dia bahkan tidak saling bertukar kontak, mengapa aku mencari-cari tentang dia di ponselku. Kuhela nafasku panjang dan tatapanku berbentur dengan mata Papa yang hitam legam.

Papa menghampiriku, menangkupkan kedua telapak tangannya yang hangat di pipiku sambil berkata, “Rumi cantik. Sangat cantik. Luar biasa cantik.”

“Pah, aku pengen ngaca, sekali saja, sebentar saja…” aku memohon. Permintaanku ini sebenarnya bodoh sekali. Karena aku tahu efeknya saat aku melihat sebentuk wajah yang tidak kukenal di cermin aku akan kembali murung. Aku akan kembali mempertanyakan dimanakah fungsi jarum-jarum suntik yang menembus kulitku, puluhan pil yang kutelan setiap harinya. Kenapa tubuhku tak juga kunjung membaik.

Papa diam, aku juga diam. Aku mengalah. Lupakan soal bercermin.

Entah hari yang keberapa. Mungkin sudah sebulan penuh aku di kamar putih ini. Dan aku semakin tak bisa membedakan mana mimpi mana kenyataan. Semua samar. Warna-warna tak lagi terlihat berwarna. Segala rasa tak lagi berasa. Aku seperti akan mati tapi tak kunjung mati.

Aku bahkan membenci kakiku yang tak lagi mampu menopang tubuh kurusku. Aku membenci diriku sendiri, yang karenanya Papa seperti tak lagi berjiwa. Papa mengorbankan segalanya untukku. Segalanya…

Kusentuh tangan Papa. Dadaku sesak. Aku menangis dan semuanya kembali gelap.

Aku terbangun oleh suara yang pernah kukenal, sekali di taman bermain. Dia yang memberikanku sekotak  cokelat dan sebuah puisi.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline