Lihat ke Halaman Asli

Conni Aruan

TERVERIFIKASI

Apa ya?

Mama, Don't You Cry

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kiaobang.files.wordpress.com

[caption id="" align="aligncenter" width="292" caption="kiaobang.files.wordpress.com"][/caption]

Sebulan sudah setelah hari itu. Aku memberangkatkan Mas Deni ke tempat peristirahatan terakhirnya dan Mama bersikeras tinggal bersamaku di rumah ini menemaniku. Sedangkan Papa, setiap pagi datang membawakan buburkacang hijau kesukaanku. Untuk makan siang, Mama memasakkan menu kesukaanku dan kami makan bersama di meja kecil tempat biasa aku dan Mas Deni menyantap makan siang. Saat matahari menghilang di balik rumah-rumah warga, kami duduk di teras, Papa akan bercerita kembali tentang kenakalannya semasa kecil yang biasanya selalu membuatku tergelak sambil memegangi perut.

Sejak hari itu, memang semuanya berubah. Aku kembali menjadi gadis kecil Papa dan Mama atau mereka yang membuat semua kembali seperti dulu. Mereka mencoba mengisi kekosonganku. Aku tak pernah meminta karena kupikir aku bisa. Tapi memang naluri orangtua sangat tajam terhadap perasaan darah daging mereka.

Aku harus memulai semuanya dari awal dengan status baru – Janda.

-

“Elle, sini Mama yang setrika sayang” Mama menghampiriku yang sedang merapikan isi lemariku yang berantakan. Beberapa pakaian kerjaku kukeluarkan dari lemari, kusut dan memang harus disetrika lagi. “Biar Elle saja Ma” jawabku pendek sambil mendekatkan pakaian itu kepadaku. Bisa-bisa Mama langsung mengambil dan menyetrikakannya untukku. Aku harus menyibukkan diri. Harus! Dengan begitu aku bisa melupakan rasa itu sesaat walau setiap malam rasa itu kembali dengan wujud yang lebih menyakitkan. Rasa itu - kenangan. Mama duduk di sampingku, ikut memilah-milah pakaian yang akan disetrika lagi.

Aku merasakan mataku panas dan kepalaku kembali berdenyut-denyut saat aku mendapati dasi kesukaan Mas Deni di antara tumpukan pakaianku. Aku menarik nafas dalam-dalam, kupikir aku akan menangis lagi ternyata tidak. Sebentuk senyum terukir di wajahku. Ternyata aku sudah bisa menerimanya. Aku merasakan Mama mengusap-usap pundakku. “Sabar ya Elle” Mama berbisik lirih di telingaku. Aku tersenyum sambil mengangguk ke arah Mama.

-

Mama, sosok perempuan terkasih yang melahirkan aku. Dari dulu sampai sekarang perlakuannya tak berubah untukku. Aku putri kesayangan Papa dan Mama. Aku hidup mati mereka.

-

“Elle pengen tidur sendiri Ma,” jawabku saat Mama memintaku tidur bersamanya. Jam sepuluh malam aku memasuki kamar dan lagi rasa itu menghantamku hingga bernafas saja sulit. Aku membaringkan tubuhku pelan dan mataku menatap kosong langit-langit kamar. Tanganku merabakesamping mencari-cari sesorang di sana. Jemariku mencakar seprei, air mataku mengalir begitu saja membasahi bantal dan tertidur.

Aku merasakan tangan yang sudah berkerut itu membelai lembut rambutku, mengusap bekas air mata di pipiku, dan lagi, menangis untukku. Sudah menjadi takdir putrinya yang berumur seperempat abad itu menjanda di usia 5 bulan pernikahannya. Menantu pergi, seorang cucu pun tak didapat.

-

“Mama, sudahlah jangan menangis lagi. Elle jadi sedih, Elle kuat Ma... Percayalah” aku memeluk perempuan hebat itu erat. Tadi pagi Mama bangun lebih awal dariku. Menyiapkan sarapan, telur dadar dan segelas susu. Menu sarapan kesukaanku.Juga bekal untuk makan siang telah Mama siapkan. Elle sayang Mama.

Di depan Papa sudah siap dengan sedan tuanya yang mengkilat, menungguku. Putri kesayangan Papa. Papa selalu bilang begitu. Papa selalu menjadi pria gentleman untukku. “Silahkan Princess” Papa membukakan pintu mobil untukku. Aku tertawa sambil menarik jasnya.

-

Sedan tua itu meluncur membawaku kembali ke dunia yang telah menempahku menjadi wanita kuat. Dunia yang mempertemukanku dengan Mas Deni. Papa menyetel lagu kesukaan kami,

“If you need me, call me No matter where you are No matter how far Just call my name I'll be there in a hurry You don't have to worry” *

Papa menyanyi sambil sesekali mendorong bahuku. Aku tertawa dan bernyanyi mengikuti lagu itu. Tak lagi aku kuatir. I’m strong enough to face the world.

-

Aku memang tak pernah pernah tahu seperti apa kisahku akan berakhir. Dan sepertinya dipisahkan oleh kematian itu bukan sesuatu yang buruk. Aku tak akan pernah tahu setelah ini ada kisah seperti apa, tapi aku tak akan menolak kalau itu memang untukku.

Aku terlalu muda untuk menangisi nasib. Aku terlalu muda berkubang dalam duka. Aku tidak sendiri, ada Papa dan Mama yang selalu mendukung. Ada cahaya yang harus aku tangkap, ada masa depan yang harus kurangkai sesempurna mungkin.

Aku keluar dari mobil melangkah mantap. Papa tersenyum sambil mengacungkan kedua jempolnya.

Mama, lihat aku, putrimu. Aku kuat Mama. Mama jangan menangis lagi.

__*_^__

* * Marvil Geye & Tammy Terrell - Ain’t No Mountain High

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline