Lihat ke Halaman Asli

Conni Aruan

TERVERIFIKASI

Apa ya?

Kerinduan Lelaki Tua

Diperbarui: 11 Februari 2016   18:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14176831991488727766

 

 

-

 




“Eehh...!” tangan Lelaki Tua itu kalah cepat menangkap piring yang meluncur dari tangannya yang bersabun.

Prang!!

“Ah! Mampuslah! Habis sudah piringku. Sudah kubilang, piring plastik saja, tak ada yang mendengar!” Lelaki Tua itu berjongkok dengan hati-hati, sepasang matanya awas menatap jemari keriputnya memunguti pecahan piring yang terserak di antara kakinya yang bergetar hebat. Kakinya memang sudah tidak  kuat lagi untuk  berdiri atau jongkok.

-

 

Mina, cucu perempuannya, menurutnya tak pernah  bisa mengerti atau memahami Lelaki Tua sepertinya. Mina harus selalu siaga saat teriakan Lelaki Tua itu menerobos lubang-lubang dinding kayu yang sudah kopong digerogoti rayap.

Memang segala anggota tubuh Lelaki Tua sudah mulai melemah, memang sudah waktunya pensiun, setelah hidupnya habis dipakai bergulat dengan terik matahari, hujan, lumpur, kerbau, panen yang gagal, harga padi yang naik turun, harga pupuk yang selangit, ditambah ketiga anak laki-lakinya memilih merantau daripada meneruskan perjuangannya. Tapi, satu yang tidak banyak berubah, kecerewetannya.

 

“Mina!! Lelaki Tua ini sudah satu jam jongkok! Kau akan dicaci sekampung membiarkan lelaki tua mati jongkok di wese. Cucu macam apa kau? Hah! Minaaaa!! Matilah aku kau buat!”

Perempuan berambut keriting , berwajah oval, bibir penuh dan sedikit lebar itu menatap Lelaki Tua dengan jengkel. Mereka bertatapan cukup lama hingga Mina memencet lubang hidungnya. Wajah Lelaki Tua itu memerah dan salah tingkah.

“Bahkan menyiram saja pun kau tak sanggup lagi. Tapi kau selalu sok. SOK!” Mina mengambil gayung yang tenggelam hingga ke dasar bak mandi. Tiga gayung penuh, tai-tai itu pun terusir dengan damai.

“Kau lihat kan? Gayungnya tenggelam Mina. Tanganku tidak sampai.”  Lelaki Tua itu terdiam sebentar, disedengkannya telinganya ke arah pintu kamar mandi yang terbuka. “Anakmu menangis Mina, kau tidak dengar?” Mina tidak menjawab. Dia membersihkan dan membantu memakaikan celananya itu. “Mina! Kau tidak dengar? Parans nangis!”

Mina menatapnya itu geram, “Aku tidak tuli! Dan satu lagi nama anakku Frans, bukan Parans.” Mina menggantungkan handuk kecil yang memang dikhusukan untuk ‘bersih-bersih’.

“Sudah kubilang, kasih nama yang gampang-gampang saja. Parans, ah! Itu kan nama orang luar sana. Coba dulu kau kasih nama, Jaya, Dodi, Budi, Toni, Doni, Dede,Didi, Dudo...”

“Kau lupa? Nama itu pemberianmu, pikun memang!”

“Kau selalu bilang aku pikun Mina, padahal aku masih ingat semuanya. Aku masih ingat saat kau kecil dulu, ditinggal Makmu, taimu kau makan kau kira kue! Huahahaha!”

Mina menatapnyaitu tajam sebelum berlari menghampiri anaknya yang menangis semakin kencang.

-

 

“Sudah kubilang Mina, kau tak mau dengar. Piring plastik, cangkir plastik, sendok plastik, baskom plastik, periuk plastik, belanga plastik...”

Mina diam saja, tangannya cekatan membalut jari-jari Lelaki Tua itu setelah dia mengeluarkan beberapa pecahan kaca halus yang terbenam di jarinya. Lelaki Tua itu menendang pintu tiga kali dan menunjukkan kedua tangannya yang berdarah dengan beberapa pecahan kaca masih menancap, “Sudah kubilang Mina...”

“Ada kabar dari Joultob? Sudah sepuluh tahun Mina, suruhlah pulang dia, ngapain dia merantau, mengemis untuk sebuah kerjaan, sementara  di sini ada sawah dan ladang yang harus digarap. Ah Mina, Lelaki Tua ini rindu kepada cucu laki-lakinya. Suruhlah dia pulang, sebelum aku mati Mina.”

“Anak itu keras kepala, persis seperti kakeknya! Entah di mana dia sekarang, nggak jelas, nggak ada alamat, nggak ada nomor  henpon”

Mina menuju meja makan dan membereskan gelas-gelas dan beberapa mangkok yang berbaris di atas meja. Matanya perempuan itu berkaca-kaca. Lelaki Tua itu memang merepotkan,  tapi hanya dialah yang dia miliki. Setelah kepergian paman dan bibinya ke negeri orang dan tidak pernah kembali, diikuti suaminya yang hanya mengirimkan sepucuk surat setahun setelah pergi, setelahnya  menyusul adik laki-laki satu-satunya,  saudara serahim, merantau ke ibukota. Mencari ilmu dan uang katanya.  Sudah sepuluh tahun tak pernah pulang, beberapa kali berkirim surat, beberapa ratus ribu uang, dan selembar sarung untuk  lelaki tua, setelahnya tak ada lagi kabar darinya. Kalau Lelaki Tua itu pergi, apalagi yang tertinggal untuknya.

“Sudah kubilang Mina, beli henpon. Dari dulu, sudah kubilang. Henpon Mina, henpon! Tak perlu kita menunggu teriakan laki-laki  oranye itu.”

“Kau punya uang beli henpon? Sini uangnya! Kalau aku punya, tak usah kau suruh sudah kubeli. Lagian percuma, beli henpon kalau kita tidak tahu nomor henponnya.”

“Lelaki Tua ini rindu Mina, aku tak mau mati sebelum melihat anak itu...”

“Ya, jangan mati dulu. Itu aja repot.”

“Memang benarkan? Apa kubilang, kau akan tumbuh menjadi perempuan keras kepala, lihatlah sekarang, kau tak mau mengalah dengan Lelaki Tua, Mina.”

“Aku akan memasak makan malam. Jangan melakukan hal-hal yang membuat kau gagal bertemu cucu kesayanganmu,”

“Seperti apa itu?”

“Seperti berdiri di depan kolam  sambil menangis. Kau bisa jatuh. Tenggelam. Mati. Gagal bertemu cucumu.”

Lelaki Tua itu terdiam. Matanya berkaca-kaca menatap pria tanggung yang merangkul pundaknya pada sebuah foto yang dibingkaikan Mina untuknya.

“Aku akan menulis surat untuknya Mina, cucuku harus pulang.”

Mina tidak menjawab, menoleh apalagi. Matanya menatap nanar pada jalan yang menelan orang-orang yang dicintainya. Anaknya menangis lagi. Mina berlari memasuki rumahnya yang hanya berjarak 2 meter dari rumah lelaki tua.

“Mina! Bagi Lelaki Tua ini kertas dan pulpen. Mina! Kau dengar tidak? Ah, perempuan punya kepala kok kayak batu.”

-

 

Di luar angin menampar-nampar jendela yang masih terbuka. Awan hitam menyeringai, dilanjut gemuruh guntur yang selalu berhasil membuat orang-orang tunggang-langgang mencari tempat untuk berteduh. Tak lama sekeliling menjadi kelabu, jalanan yang tadinya berdebu kini basah dan air mulai menggenang menyisakan bau tanah dan matahari yang menguap kemana-mana.

Rumah semi permanen yang berdampingan itu diam dan hening. Mina sedang menyiapkan bubur untuk lelaki tua, saat anak lelakinya itu asyik bermain bola di ruang depan, lelaki tua duduk diam di beranda rumahnya. Wajahnya basah dan seakan membeku oleh tamparan angin dan hujan. Matanya menatap kosong. Pikirannya melayang jauh pada satu-satunya cucu laki-laki yang dia kasihi. Joultob.

Mina berlari menuju ruang depan, menutup jendela dan mengelap lantai yang basah oleh hujan. Frans sudah tertidur memeluk sarung kotak-kotak punya bapaknya. Mina menggeleng, dua jam lagi makan malam padahal. Tak mengapalah, pikirnya sambil membuka pintu depan dan melongok ke rumah tua di sampingnya. Dilihatnya Lelaki Tua itu membeku di beranda.

“Kakek!! Ngapain?!”

Lelaki Tua itu bergeming. Mina gusar. Diambilnya payung yang beberapa rangkanya sudah patah dan berlarilah ia menghampiri Lelaki Tua itu.

“Ngobrol sama hujan? Sakitlah kau nanti, aku juga yang repot!”

Mina membimbingnya masuk, mengambil handuk, mengeringkan wajah dan kepala lelaki tua itu dan kemudian mengganti kemeja lusuhnya yang basah.

“Aku sudah memasak bubur untuk makan malam, seperti yang kau minta. Aku mengantarnya ke sini atau kau makan denganku dan Frans?”

“Mina, dari kemarin aku minta pulpen dan kertas, sampai sekarang tak kau berikan. Kenapa kepalamu keras sekali Mina?”

Mina menepuk dahinya. “Oia, aku lupa. Nanti aku berikan,” jawabnya sambil merapikan barisan gelas pada satu-satunya meja di rumah itu.

“Entah kenapa Mina, aku tadi merasa melihat Joultob kecil di hujan deras itu. Berdiri dengan senyumnya yang licik menggenggam beberapa tangkai padi muda, lalu dia lari sambil tertawa.” cerita Lelaki Tua sambil terisak.

“Itulah kan? Sudah mulai gila. Mampuslah kita Frans, Lelaki Tua sudah mulai meracau.”

“Mina, aku belum gila!”

“Lalu apa namanya? Berandai-andai? Andai Joultob kecil tak pernah tumbuh, tak pernah dewasa, tak akanlah dia berpikir untuk merantau, tak akanlah dia tak ada kabar sampai sekarang ini. Begitu? Jam tujuh makan malam aku siapkan, terserah mau makan sendirian atau sama kami.” Mina mengelap tangannya yang basah sehabis mencuci piring.

“Aku makan sama kalian saja. Jangan lupa Mina, kertas dan pulpen. Surat Mina... suraat!”

Mina mendelik, “Sabar Lelaki Tua!” katanya sambil meraba dinding mencari saklar lampu. Klik! Ruangan itu terang, kini terlihat jelas raut wajah Lelaki Tua yang sedang merindu itu. Kusut, redup, dan cemberut. Mina menutup pintu dan tak lupa mengingatkan, “Jam tujuh makan.”

-


Ah, Joultob... Hujan lagi, Lelaki Tua kedinginan.

Kau ingat sawah di ujung kampung? Banyak rumputnya sekarang, tikus, ular bersarang di sana. Nggak ada yang mengurus. Kupikir kau tidak akan pergi mengikuti ketiga pamanmu itu. Salah rupanya aku. Kayak kuda kau berlari menuju tanah rantau. Kau bilang kau akan pulang. Sepuluh tahun berlalu, hanya surat, beberapa lembar uang merah, dan selembar sarung yang pulang. Di mana kau cucuku?

Kau ingat kolam ikan di belakang rumah kita? Katak beranak pinak di sana. Tak lupa nyamuk, dan beberapa ekor ular sawah. Kapan kau pulang? Rencana kita beternak ikan lele haruskah tinggal rencana?

Lelaki tua sudah tak bisa lagi berjalan, Joultob. Lelaki tua sudah lelah menunggu, merindu, mendamba kepulangan cucu laki-laki, satu-satunya.

Kakakmu, si Mina sepertinya benar. Aku berandai-andai Joultob. Andai kau tak pernah tumbuh dewasa, tak akanlah pernah kau memikirkan untuk merantau dan pergi meninggalkan lelaki tua ini.

Satu atau dua tahun lagi, kupikir aku masih bisa bertahan hidup. Pulanglah, penuhi keinginan Lelaki Tua ini sebelum ajalnya menjemput.

 

Lelaki Tua mengusap pipinya yang basah. Dengan tangannya yang bergetar dia melipat kertas itu dan memasukkan ke amplop yang sudah disiapkan oleh Mina. Di sudut kiri atas dia menuliskan alamat pengiriman:

Kepada: Joultob di Jakarta

 

-

Tyas berlari kecil memasuki salah satu kontrakan kumuh yang berjejer, gadis kecil di gendongannya terguncang-guncang. Selembar sarung menutupi kepala mereka berdua dari gerimis sore di awal Desember.

Di depan kontrakan mereka, karung-karung yang berisi botol dan gelas pelastik menggunung.  Beberapa pria sibuk memilah-milah botol dengan tutupnya, pelastik penutup dengan gelasnya.

“Bang!” panggil Tyas sambil menurunkan gadis kecil itu dari gendongannya.

Joultob menoleh, senyumnya lebar menyambut kedatangan Tyas dan anak perempuannya. “Dapat tiketnya?”tanyanya sambil melangkahi gunungan botol pelastik.

“Dapat Bang, tapi bukan tiket bus,” Tyas meraih tasnya dan mengeluarkan amplop putih. “Kita naik pesawat!”

Joultob terkejut, meraih amplop putih itu dari Tyas. “Uangnya cukup?” tanyanya sambil menyimak rencana perjalanan mereka di selembar kertas itu.

“Lebih lima puluh ribu, malah!” jawab Tyas bersemangat.

Joultob menggendong anak perempuannya dan memeluknya lembut. Matanya berkaca-kaca saat  menatap Tyas yang sudah berurai air mata bahagia.

“Kita akan pulang, dek.”

 

-

“Minaaa!” teriakan Lelaki Tua itu kembali menembus dinding kayu yang sudah kopong.  Tangan kanannya bertumpu pada tongkatnya, dan yang satunya diletakkan dipinggangnya.

“Apa?” Mina keluar dari kamar Lelaki Tua sambil memegang sapu dan gulungan seprai kotor di tangannya satu lagi.

Lelaki Tua terkejut. “Di situ kau rupanya.”

Mina mendengus. “Kau selalu berteriak memanggilku, kau kira aku tuli.”

“Kadang kau memang tuli Mina. kau kirimkan surat ini dulu.” Lelaki Tua menyerahkan amplop putih itu kepadanya. Mina mengamati amplop itu, membuka dan mengamati isi suratnya sebentar.

“Jakarta, di mananya? Jakarta itu luas.” Tanya Mina sambil memasukkan amplop ke saku celananya.

“Kau kirimkan saja, biar tukang pos mencari di mana si Joultob tinggal di Jakarta. Itu kan kerjaan mereka.” jawab Lelaki Tua.

Pundak Mina lemas mendengar jawaban Lelaki Tua, dia hanya bisa mengangguk. Dia memasukkan seprai kotor ke ember di depan rumah Lelaki Tua, dan mulai lagi bersih-bersih.

“Kau sudah bisa tiduran sekarang. Sudah bersih. Sudah bisa dikencingi dan diberakin lagi.”

“Mulutmu Minaaa!!” Lelaki Tua kesal.

Mina tertawa, dijinjingnya ember penuh cucian itu dan memanggil Frans yang bermain bola di halaman untuk masuk rumah.

Mina berhenti sebentar, menatap jalan dan tersenyum. Sebuah firasat.

-

 

 

 

 

 

 

 

Sumber gambar: http://venturegalleries.com/wp-content/uploads/2012/07/old-man-1.jpeg

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline