Sejak potongan video pidato ahok yang menyinggung “ Al-Maidah 51” di publikasikan ulang oleh pak BY yang berprofesi sebagai Dosen, maka “Al-Maidah 51” pun menjadi viral di jagat media sosial dan portal-portal berita media-media arus utama sampai portal berita entah berantah, menjadi berita panas di di berbagai media massa bahkan menjadi gossip hot di Infotainmet, padahal bukan artis. Kehebohan pun mencapai puncaknya pada pagelaran demonstrasi besar-besaran pada tanggal 4 Nopember yang lalu. Untuk itulah saya ingin menagis setersedu-sedunya dan berkali-kali sampai terkuras air mata ini. Hiks.
Pertama, saya ingin menangis terharu, saking terharunya saya kehabisan kata-kata, kira-kira pujian apa yang layak saya berikan untuk mereka yang melangsungkan demonstrasi 4.11 dengan sukses. Top lah! Pun perasaan saya semakin mengharu biru saat menyaksikan sebuah acara televisi, seorang Da’i yang (pernah) kondang dengan gaya khasnya, ceramahnya yang seringkali menyentuh hati, bahwa beliau ambil bagian dalam demontrasi 4.11 sebab ada rasa dan hati yang sakit terkait pernyataan Ahok soal Almaidah 51. Hampir baper saya mendengarnya.
Saya pun berandai-andai, jika peserta demonstrasi 4.11 yang tumpah ruah waktu itu memiliki alasan yang sama, betapa luar biasanya. Bagimana tidak, ribuan manusia mampu menyatukan perasaan satu sama lain yang bagi sebagian yang lain meyatukan dua perasaan saja bukanlah pekerjaan mudah.
Duuuh….. Cuma sayang, rasa itu bukan rasa sayang apalagi cinta. Rasa itu adalah rasa sakit, hati yang tersakiti, dan seringkali disertai oleh amarah yang menimbulkan rasa benci dan dendam. Akhirnya, menafsir apapun termasuk Almaidah 51 hasilnya hanya akan merepresentasikan amarah dan dendam, tidak lebih. Lihat saja kelakuan para wali demonstran yang awalnya menuntut agar ahok segera diproses secara hukum, tapi ujung-ujungnya mereka memaksa ahok di penjara.
Kaaan… ah sudah lah, percuma saja ngajak mereka dialog apalagi diskusi dengan mereka yang sedang sakit hati. Bukannya sombong, sejak SMA saya sudah sering jadi tempat curhat korban sakit hati. Kebanyakan dari mereka susah diajak mikir pake pikiran, mikirnya pake perasaan. Kebencian pun hanya menjadi satu-satunya perspektif yang mereka miliki.
Saya tidak bisa membayangkan, jika Negara ini, bangsa ini, dikuasai oleh para baper. Sungguh ,saya benar-benar tidak pernah tahu jika Negara yang memiliki peradaban yang (jauh) lebih maju dari Negara ini dibagun pake perasaan. Sepanjang yang saya tahu, Negara-negara itu dibangun berdasarkan produk pikiran, dan (sekali lagi) bukan perasaan. Ingat! Pancasila sebagai dasar Negara, UUD 1945 sebagai konstiitusi Negara, dibuat pake pikiran buka perasaaan. Bayangkan dech, apa jadinya kalo Pancasila dan UUD 1945 dibuat pake perasaan, dan yang membuatnya para baper, saya yakin, seyakin-seyakinnya Negara ini sudah bubar sedak dahulu kala. Wallahu a’lam Bisshowab.
Kedua, saya menagis karena sedih, sedih sekali malah. Di rimba politik negeri ini yang tidak segan mengunakan cara apapun untuk mencapai kepentingan politiknya, kenapa harus Ahok yang jadi martir, Kenapa tidak yang “seiman” dengan saya saja yang menjadi martir, biar bisa disebut sebagai “mujahid”. Dengan gaya khasnya yang ceplas-ceplos, Ahok dengan terang benderang mengingatkan siapapun yang belum pikun, bahwa sudah lama sekali di Negeri ini agama seringkali menjadi alat kepentingan politik.
Ayat-ayat agama sering dijadikan alat kampanye, tidak jarang kesuciannya dinodai oleh janji-janji politik yang tidak terbukti. Belum cukup dengan ayat-ayat agama, tokoh agama juga diperalat demi memenangkan kontestasi politik. Bukan hanya yang masih hidup, yang sudah meninggal pun dengan bangganya dijadikan alat kampanye politik. Anda memang luar biasa sodara…!!!
Bagi yang pernah tahu, tentu ingat dengan seorang pemikir politik yang termashur namanya, Machiavelli. Cukup banyak saya kira yang mengenalnya, tapi kebanyakan yang mengenalnya cenderung menghujat pikiran-pikirannya. Ajaran-ajarannya seringkali dihakimi sebagai ajaran politik yang menyesatkan tidak hanya oleh pemikir politik lainnya, para politisi pun tidak ketinggalan untuk turut serta menghujatnya. Tapi diam-diam mereka mengagumi sekaligus menjadi pengikut setia. Mereka dengan fasih mempraktikkan ajaran politik Machiavelli.
Dari sekian ajarannya, Machiavelli bersabda“ Agama memiliki makna bila berguna bagi kepentingan politik”. Terutama di Negeri ini yang menjadikan agama sebagai salah satu landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama adalah senjata yang bisa diandalkan untuk memenangkan peperangan politik. Mereka tidak peduli dengan risiko menodai kesucian agamanya sendiri, atau jangan-jangan memang sebenarnya mereka sudah lupa kalau agama itu suci, entahlah.
Resiko lainnya yang saya rasakan langsung adalah tokoh agama atau yang sering kita sebut ulama atau kyai mengalami penurunan harga dimata masyarakat. Saya lahir dan dibesarkan ditengan-tengah masyarakat yang (dulu) memegang teguh nilai “sami’na wa atho’na” pada kyai (ulama) karena percaya dan yakin akan mendapatkan barokah. Tapi gegara politik nilai itu memudar, bahkan ada yang sampai mencemooh. Baginya, kyai yang bersinggungan dengan politik haus akan kekuasaan dan matre. Tangis saya pun semakin menjadi-jadi. Hiks-hiks.