Lihat ke Halaman Asli

conie sema

Pekerja seni di Teater Potlot

Tubuh Tanpa Sejarah

Diperbarui: 28 Desember 2020   18:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Love Squared by Pintrest

Esai Teater Conie Sema

"Teater dan aku dikejutkan narasi media. Menerobos ke rumahku. Ia melangkah jauh. Tubuhnya besar. Berkaki panjang. Melenggang memasuki ruang demi ruang. Begitu cepat. Melewati kesadaranku untuk menolaknya. Sampai ke kamar tidur. Bersamaku. Aku tak mampu mengurai peristiwa apa yang terjadi. Hampir setengah abad kami terkepung ke dalam bentuk aneh. Gestur-gestur tak dapat dikenali. Di ruang tidur, dalam mimpi, sampai terbangun esok pagi, semua properti rumah bergerak mengikuti narasi media. Menjadi tubuh yang berkembang biak begitu cepat. Membangun ornamen bahasa dirinya sendiri di setiap pojok ruang. Aku bertahan sembari menghapal satu demi satu penandaan yang muncul. Terjadi perubahan. Tubuhku tiba-tiba begitu akrab dengan narasi-narasi tersebut. Merasa menjadi bapak dari mereka. Menjadi ibu yang melahirkan tubuh-tubuh baru. Dalam hitungan detik. Tanpa sejarah. Tubuh-tubuh yang terbebas dari ruang dan waktu. Juga muasal identitas siapa ibu bapaknya." 

Banyak peristiwa paradoks ketika struktur atau bentuk-bentuk yang selama ini disepakati, berubah fungsi dan maknanya. Dalam kehidupan sehari-hari peristiwa itu, bagi orang tertentu, dianggap biasa. Sebagaimana proses menjadi ada. Pasca dramatik, teater bergerak meninggalkan dominasi teks dan represi subjek-subjek pemaknaan. Atau tubuh aktor sebagai pusat pemaknaan. Teater pun membangun peristiwa dirinya sendiri. Melahirkan ribuan tubuh baru bersama peristiwa melatarinya. Teater menjadi sosok yang hilang dari keagungan karakter. Seluruh tokoh tidak lagi memperbincangkan persoalan menjadi dirinya atau orang lain. Teater tak lagi berkata-kata dalam ruang dialog. Tubuh pun mengalami dinamika internalnya sendiri. Merupa dengan narasi yang menjelaskan dirinya sendiri. Tak ada ketakutan dengan kesewenangan nilai-nilai etis dan pusat kebenaran. Juga serpihan-serpihan kegelisahan tubuh seperti The Theatre of Cruelty Antonin Artaud di masa lalu.

Lansekap tubuh sebagai esensi pemaknaan, datang pergi tanpa tahapan sejarah dan proses waktu. Sangat cepat dan sulit ditandai. Nilai budaya, tradisi, entitas kebangsaan, tidak lagi menjadi pilihan objek dari pergumulan cerita. Juga peristiwa demi peristiwa masa lalu. Seakan hendak mengatakan realitas sejarah ibu dan anak. Seperti dialog kegelisahan temporal sebuah pengucapan pada dimensi waktu, 100 tahun bersama ibu.

Tubuh kadangkala sulit melepaskan 'pesakitan' dirinya dari sebuah peristiwa yang tidak lagi menjadi sejarah. Tetapi tubuh tetap saja dipaksa menjadi realitas di luar dirinya  dengan segala fase dan tahapan untuk menjelaskan penandaan jati dirinya. Seakan sulit untuk mendapatkan ruang kosong. Jeda atau ruang sunyi seperti diingatkan Jacques Lacan; buat tubuh beristirahat dari konstruksi teks yang dimainkan. Lalu, peristiwa apa lagi. Kerepotan apa lagi? Ketika tubuh gagal mendekonstruksi masa lalunya untuk hari ini. Kita bertahan di 'luar' atau di 'dalam'. Atau mengambil posisi 'berjaga-jaga' di ruang jeda, dari lintasan yang begitu cepat untuk ditandai.

Adakah yang ganjil ketika teater menghitung beragam teks lain dari panggung pertunjukan, bila sanggup menghibur, berempati dan lain-lain. Atau sebaliknya, membosankan. Standarisasi itu yang mengesankan subjek-subjek pemaknaan bahasa menjadi 'lain', ketika melihat tubuh secara naratif, menjadi sosok lain yang melepaskan hitungan matematika atau silsilah ibu dan anak. Sehingga aku teks harus mencari pengucapan lain dari fenomena narasi media yang setiap hari masuk ke rumah - tanpa muasal sejarah dan penandaan indentitas dirinya.

"Aku membaca rumahku, setelah 100 tahun menutup pintu ibu." Kalimat pendek itulah yang muncul, sebagai siasat tetap bertahan dalam ruang-ruang yang disibukkan peristiwa penandaan. Aku seakan berteriak mengajak orang-orang di kampungku, memecah tubuhnya menjadi pribadi yang tak pernah muncul sebelumnya. Berat. Tetapi setidaknya ada kegelisahan baru melahirkan sebuah peristiwa teater. Meski menjumpai kesepian baru. Kebenaran baru. 

Tubuh teater hari ini bukan tubuh liar yang bergerak di luar teks atau bahasa. Ia masih mengalami represi dari narasi-narasi besar yang dominatif. Kisah-kisah kecemasan. Efek media. Kemarahan alam. Konflik keyakinan dan sentimen etnis. Politik kekuasaan. Isu kesehatan, wabah penyakit. Eksploitasi sumberdaya alam. Kecemasan gender. Maut dan kematian. Simbol-simbol emergensi dan tanda bahaya. Mungkin kita tidak membutuhkan lagi rumah masa lalu. Mengumpulkan arsip-arsip kenangan dan ingatan kanak-kanak. Setiap pagi mengapit buku, pergi ke sekolah.

Stanislavski ada dalam tubuh yang dinyatakan. Teater terlihat seperti pergi ke sekolah atau pergi ke masjid. Ruang lain menjadi sepi tak terisi. Teater mungkin berusaha hadir dalam ruang kesepian itu. Ingin lebih dari sekedar peristiwa mimetik atau logika-logika logosentris. Berbicara dan menghapal drama (represi keaktoran panggung). Teater ingin menjadi tubuh yang bebas bergerak dan membentuk ribuan ruang teks dalam praktik membaca pemaknaan, yang macet, dan mungkin diruntuhkan. Hingga terbukanya kemungkinan makna-makna alternatif. Sebagaimana dikatakan Martin Heidegger: Berpikir di luar bahasa. "Bukan saya yang menggunakan bahasa, tetapi bahasalah yang menggunakan saya."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline