Lihat ke Halaman Asli

Verena

Diperbarui: 12 September 2015   19:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku bahkan belum tahu namanya, tetapi cinta sudah menusuk hatiku saat melihat gadis itu.

Gadis yang sangat cantik, matanya fokus dan tajam ketika pandangannya bertemu denganku. Bibirnya merah secara natural, tidak tersenyum, tapi pastilah sangat indah jika ia mau memberi secercah dari keindahan itu. Tampaknya ia masih asing dengan semua situasi baru ini, sama sepertiku. Ia memegang beberapa helai rambut hitam panjangnya dan menutupi wajanhnya dengan itu, entah malu atau iseng penyebabnya melakukan hal itu. Aku duduk di seberangnya dalam ruang kelas yang disusun dengan bangku melingkar. Banyak anak-anak baru juga yang akan menjadi calon teman berkuliah nanti, tapi sosok gadis itu sunggulah ingin aku sapa dan kukenal lebih jauh.

Seharusnya di saat pengenalan kampus ini kami diwajibkan memakai name tag berisikan nama kami. Kartu kecil bertuliskan nama sudah tergantung di saku bajuku, beberapa teman pria sudah mulai bertukar sapa dan nama denganku. Tapi jarak 24 ubin di antara aku dan gadis itu membuat perasaanku tergelitik dan dipenuhi rasa penasaran. Ingin sekali rasanya aku berjalan menghampiri dan memberikan salam perkenalanku di hadapannya sambil berkata, “Hai, boleh berkenalan? Namaku Mike, siapa namamu?” Tapi berucap seperti itu sangat mengundang cacian dari orang lain, “Wei! Jangan PDKT dulu! Baru masuk kuliah!”

Datanglah sang kakak senior pembimbing kelompokku. Setelah mengetahui nama, wujud fisik, dan angkatan di mana kakak itu berada, pandanganku kembali tertuju pada gadis misterius itu. Aku memperhatikan saat tangannya merogoh tas dan mencari sesuatu. Akhirnya aku melihat nama gadis itu saat ia memasang name tag di saku bajunya, Verena.

Sepertinya karena hukum alam yang menyatakan kalau, ‘manusia yang tidak pernah puas’ terlalu melekat di diriku, mengetahui namanya saja tidak cukup. Mengetahui nama itu seakan hanya seperti melihat jeruk yang dijual di gerobak-gerobak pasar, tanpa sempat merasakan manis atau asam isinya. Dengan menggunakan pandangan semata, aku menerka-nerka orang seperti apa gadis itu. Apakah ia seorang yang ramah, atau ia justru seorang yang dingin seperti es? Apakah ia merawat segala keindahan di tubuhnya itu, atau semuanya adalah produk alami? Rambut hitam yang sangat mengkilap, bahkan seorang artis iklan shampo pun tidak dapat memikatku seperti yang dia lakukan secara tidak sengaja sekarang. Apakah ia seorang yang berusaha menjadi model, tubuhnya yang ramping seakan dijaga dengan diet ketat rutin ala ahli gizi. Atau mungkin ia adalah seorang yang gemar membaca novel, kacamata dengan lensa persegi dengan frame hitam menjadi bingkai dari mata bulat nan indah miliknya. Bahkan aku berusaha menerka, apakah ia kaya atau berasal dari keluarga sederhana? Pakaiannya adalah sebuah kemeja dengan motif lipatan-lipatan yang memberi sedikit kesan ‘berisi’, celana hitam bahan dengan sepatu ceper biru langit dengan motif doodle. Tidak bisa aku lihat merk dari tasnya, padahal itu adalah informasi utama untuk mengetahui apakah uang sakuku nanti akan mencukupi biaya kencan kami kelak... baiklah itu agak berlebihan.

Entah apa yang membuat gadis itu sangat menonjol, aku sendiri sebenarnya bingung. Ada beberapa gadis lain yang juga cantik dan imut, tapi aku tidak dapat memandang mereka lama karena teralihkan oleh Verena. Ini hari pertama perkenalan kampus, dan pandanganku sudah terkunci ke satu orang.

Tidak disadari kakak pembimbing berdehem meminta perhatian kami yang sedang sibuk sendiri. “Baiklah, sekarang kita mulai perkenalannya yah. Supaya lebih akrab, kakak minta satu per satu kalian maju dan memperkenalkan diri secara singkat. Nama, fakultas dan hobi.” Dan ketika sang kakak pemimpin kelas menunjuk salah satu dari kami, terpilihlah gadis itu sebagai orang pertama yang harus memperkenalkan diri. Sepertinya pesona Verena, sang gadis misterius itu terpancar juga ke mata sang senior berambut cepak cenderung jabrik itu.

Ia melangkah perlahan ke tengah kelas. Ia tidak langsung berbicara, tetapi ia memberikan sebuah senyum singkat saat ia mengangkat kepalanya menghadap kami semua, “Halo, nama saya Verena. Saya dari jurusan psikologi dan hobi saya adalah... menonton film.” Kalimat singkat yang sempat agak menggantung itu diakhiri dengan anggukan ringan yang juga disertai dengan senyum. Tepukan tangan dari kami satu kelas mengiringi saat dia kembali ke kursinya. Dan saat itulah aku menyadari mata dari para pria di kelasku juga tertuju ke arah Verena.

Mungkin memang secara alamiah bahwa persaingan untuk mendapatkan pasangan yang unggul itu akan terjadi di antara para pejantan. Beruntunglah Verena masih dikelilingi oleh beberapa teman perempuannya, sepertinya hal itu dapat menangkal para pria di kelasku untuk mendekatinya. Aku tidak naif, menjadi temannya Verena adalah hal yang aku inginkan, atau jika beruntung dapat menjadi pacarnya dalam beberapa bulan ke depan. Secara tidak sadar, setelah Verena maju, ruang kelas itu telah menjadi medan perang dingin para pria yang juga menyukainya. Mengaguminya saja tidak cukup sekarang, aku perlu berani berbicara dan mulai menjalin komunikasi. Sekarang aku hanya bisa berharap kepada sel-sel di otakku untuk mendapatkan bahan pembicaraan dan semoga hatiku memiliki keberanian untuk bertatapan dengannya dari dekat.

“Mike Setiawan... Mike Setiawan!”
“Ah iya saya!” ujarku kaget terlepas dari lamunan. Dan di depan sudah menunggu kakak senior yang menyuruhku untuk memperkenalkan diri.

Dan ketika waktu istirahat tiba, kami semua mulai berbaur berpindah tempat duduk dan mendekati teman baru. Aku mendekati beberapa pria yang kelak akan satu jurusanku nanti, Verena pun melakukan hal yang sama bersama teman-teman perempuannya yang kelak akan menjadi calon psikolog unggul. Sungguh di luar dugaan, Aku dan Verena akhirnya dapat duduk bersebelahan! Karakter verena yang pendiam tampaknya membuat dia masih senggan untuk berkumpul di lingkaran dalam grup itu, ia masih duduk di sisi luar, tepat bersebelahan denganku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline